SEMARANG – Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun depan bakal naik 8,71 persen. Artinya, UMK di Kota Semarang pada 2018 mendatang berada di angka Rp 2,3 juta. Formula tersebut, dihitung berdasarkan persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sepertinya formula itu tidak disetujui kalangan buruh di Kota Semarang. Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi mengaku, para buruh di wilayahnya telah mengajukan besaran kenaikan UMK, melainkan menggunakan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Yakni mencapai Rp 2,7 juta.
Melihat usulan itu, Hendi – sapaan akrab Hendrar Prihadi – mengaku pesimistis seluruh pengusaha di wilayahnya setuju dengan angka tersebut. Sebab, selisihnya mencapai Rp 400 ribu dengan angka yang dihitung berdasarkan PP 78/2015.
Dijelaskan, pihaknya sudah menerima usulan dari pihak pengusaha. Mereka mengajukan kenaikan UMK tidak sesuai dengan formula PP 78/2015. Yakni hanya Rp 2,3 juta. “Penetapan UMK sebenarnya tidak ada masalah, karena sudah ada PP. Tapi setiap bulan Oktober, September, saya selalu kedatangan tamu dari teman-teman serikat pekerja buruh dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Mereka selalu mengusulkan UMK dengan nilai berbeda,” kata Hendi sapaan Hendrar Prihadi.
Dikatakannya, tahun ini buruh menilai bahwa situasi ekonomi di Kota Semarang sedang sulit. Dia pun memaklumi perbedaan tersebut. Meski begitu, orang nomor satu di Kota Semarang ini meminta adanya komunikasi dwipartit antara kalangan buruh dan pengusaha. Agar diketahui berapa kekuatan perusahaan dan berapa nilai ideal untuk pekerja. “Sehingga hal itu bisa ditarik angka tangah. Tapi rasa-rasanya untuk tahun ini masih belum berubah dari angka sebelumnya. Masih ada kepentingan-kepentingan untuk saling menetapkan UMP di Kota Semarang,” ungkap Hendi pesimis.
Rencananya, pekan depan, Hendi akan mengundang kedua belah pihak untuk bertemu. “Kami ingin semua bisa menerima dengan kondusif. Jangan kemudian merasa kok keinginanku tidak dipenuhi ya. Itu akan mengakibatkan potensial kondusivitas di Kota Semarang,” tegasnya.
Ia berharap akan ditemukan solusi terbaik dan tidak memberatkan ataupun merugikan kedua belah pihak. Sebab, bila upah terlalu tinggi, dikhawatirkan akan memberatkan perusahaan dan akan menimbulkan masalah baru yang dapat berujung pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Penetapan UMK berdasarkan PP ini berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tapi buruh menyampaikan, bahwa hasil survei seperti itu. Jadi, mereka menilai kalau ditentukan berdasarkan PP kurang banyak. Ya nanti ketemu dengan dua belah pihak,” katanya. (ajie mh)
Editor: Ismu Puruhito