in

Pelajaran “Budi Pekerti” untuk Netizen

Kesibukan Bu Prani berubah drastis, mengurus reaksi netizen setelah satu kata menjadi viral. Film tentang kegaduhan media sosial dan bias negatif otak manusia.

Bu Prani (diperankan Sha Ine Febriyanti) tak menduga satu kata yang dilontarkannya kepada seorang pria di pasar secara spontan bisa viral. Satu kata yang terucap itu lalu merembet menjadi masalah tak hanya bagi dirinya tetapi juga keluarga, dan instansi tempat dia bekerja. Dikenal seluruh murid dan koleganya sebagai guru favorit, kini ia menjadi gunjingan banyak pengguna media sosial sebagai ibu-ibu yang tak punya akhlak. Seluruh waktunya yang semula mesti digunakan untuk mengajar, menjalani hobi, mengurusi suami yang mengidap bipolar, dan kedua anak usia remaja, seketika berubah drastis menjadi sibuk mengurusi reaksi netizen, yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.

Narasi dan konflik ini disajikan di film “Budi Pekerti” (2023), karya sutradara Wregas Bhanuteja.

Isu yang diangkat dalam film ini sangat aktual bagi kegaduhan media sosial yang kerap terjadi di Indonesia. Di antara kita bisa saja menjadi Bu Prani selanjutnya, yang viral disebut tukang serobot antrean atau dikategorikan sebagai orang yang akhlakless, padahal apa yang diviralkan itu jauh dari kenyataannya. Bila merujuk lagi pada adegan yang menjadi pemicu masalah dalam cerita film ini, nyatanya Bu Prani itu sedang menegur orang yang sedang menyerobot antrean.

Informasi yang tidak utuh mudah menjadi sumber kegaduhan. Ketika semua orang membahas hal tersebut kita namakan itu sudah viral. Kita tentu masih ingat video Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang viral karena diduga menistakan agama gara-gara sekian detik ucapannya yang menyebut surat Al Maidah Ayat 51.

Hal yang viral itu bukan suatu kenyataan yang utuh yang dapat dicerna konteksnya. Biasanya satu ucapan dipenggal untuk diberi tafsiran yang tidak sesuai dengan konteks pembicaraan semula. Akibatnya tumbuhlah kesalahpahaman.

Tidak berhenti sampai di situ, isu yang viral tersebut dapat melahirkan komentar-komentar yang tak sesuai kenyataan. Sekumpulan komentar dan tanggapan netizen itu kemudian tersebar secara liar. Para kreator konten juga celakanya menggunakan momentum viral ini sebagai pendulang views.

Siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan kalau sudah muncul kegaduhan di ruang maya begini? Bagi saya semua pihak ketiban rugi, baik pihak yang diviralkan maupun pihak yang memviralkannya. Betapa tidak rugi jika kenyataannya semua yang menikmati viralitas ini sedang memakan bangkai saudara sendiri secara berjamaah.

Bias Negatif Otak Manusia

Isu-isu yang viral biasanya bermuatan negatif. Manusia pada dasarnya memang cenderung suka pada hal negatif, belajar lebih banyak dari pengalaman negatif, dan membuat keputusan berdasarkan informasi negatif dibandingkan yang positif. Dalam penelitian lain terdapat keterangan bahwa otak manusia berevolusi untuk dapat bereaksi lebih kuat terhadap informasi negatif dibandingkan informasi yang positif.

Mulanya pikiran ini berasal dari para pendahulu kita yang tinggal di gua yang hidup penuh ancaman, terfokus pada hal-hal negatif untuk waspada. Selama ratusan juta tahun manusia mempertahankan keamanannya dengan berfokus pada bagaimana mengusir segala ancaman, misalnya dari hewan-hewan buas. Tidak heran jika kini kita sangat peka pada hal yang negatif. Demikian penelitian dari Dr. Rick Hanson.

Di dunia media massa barang negatif bahkan menjadi primadona, yang menyebut bahwa “Bad news is good news”. Isu negatif menjadi pemantik paling ampuh untuk memancing orang membaca suatu berita. Studi yang dilakukan Claire E. Robertson dkk., membuktikan bahwa judul-judul berita yang mengandung kata-kata negatif lebih banyak dibaca dibandingkan judul yang bernuansa positif.

Jika kata-kata negatif ini hanya jadi alat penarik pembaca, tidak akan berakibat fatal hingga menjadi kegaduhan di ruang publik. Apalagi jika hal ini dilakukan media massa yang memiliki standar kerja yang ketat. Standar suatu berita memang mestilah berimbang, tidak menyudutkan siapapun, menghargai privasi narasumber, dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Video viral satu ucapan negatif Bu Prani atau kata-kata Ahok tempo h mengenai salah satu surat Alquran yang viral itu bukan tergolong berita. Dalam redaksi media massa penggalan video tersebut masih barang mentah yang belum layak dikonsumsi publik. Jelas saja para netizen menjadi keblinger karena kerap mengkonsumsi informasi yang masih mentah.

Bila merujuk pada disiplin jurnalisme, bahan mentah itu harus melalui proses sedemikian rupa agar dapat dikonsumsi bersama pada nantinya. Di antara proses itu yang paling penting adalah verifikasi. Setiap penggalan informasi mesti dipastikan kesahihannya, dirujuk konteksnya, dan terus diperiksa sampai jelas apa maksud dari informasi tersebut. Inilah produk informasi jurnalistik yang kita sebut berita.

Peran Media

Di masa awal kemunculan media sosial, kerja-kerja jurnalistik yang selama ini telah dilakukan media massa sempat mendapat tantangan dan diragukan kelanggengannya. Semua orang kini bisa membuat informasi, memposting beragam peristiwa sekitar yang notabene adalah lahan basah bagi para pekerja media (jurnalis).

Namun kini semakin terang bahwa inklusivitas teknologi penyebar informasi seperti media sosial tidak dapat menggantikan kerja jurnalisme konvensional. Disiplin dalam membuat berita adalah kerja yang selama ini tidak bisa dilakukan netizen maupun para konten kreator. Mereka justru kerap menjadi biang kegaduhan di ruang maya dan sebagian netizen lainnya menjadi korban percekcokan tersebut. Hal ini tidak akan berhenti jika keadaan ini tidak segera dibenahi.

Apa yang ditayangkan dalam film Budi Pekerti memuat uraian yang jelas, bahwa kita kerap gaduh akibat desas-desus, gemar berkomentar sebelum paham konteksnya, doyan membagikan postingan kabar burung, suka menyimak banyak letupan informasi yang bukan tergolong berita, dan tidak sadar bahwa apa yang dilakukan telah menyulut konflik horizontal yang tidak perlu.

Di tengah kegandrungan tiap pengguna medsos memposting apapun tentang kehidupannya, kita perlu memegang apa yang dikatakan Bu Prani kepada atasannya saat dirinya dipaksa untuk membujuk salah seorang bekas anak muridnya untuk melakukan klarifikasi kepada netizen demi nama baik sekolah. Ia menolak dengan mengatakan, “Tidak semua hal perlu diceritakan”. Kita tidak pernah tahu ujung pertanyaan para warganet sampai mana. Mereka selalu mencoba mengulik segala hal kecuali kita berhenti meladeninya.***

Abdul Hamid, pegiat pendidikan di Odesa Indonesia, Bandung.