Sebelumnya, saya terpaksa menuliskan istilah “Buddhisme”. Sekali lagi, saya sangat terpaksa. Buddhisme, menurut saya bukan kepercayaan, bukan “agama”. Buddhisme memiliki pandangan berbeda tentang kedamaian dan kebenaran. Buddhisme bahkan tidak percaya kepada “Tuhan” yang personal. Menurut ilmu sejarah agama versi Barat, Buddhisme sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai “agama”. Saya percaya bahwa Buddhisme memiliki pandangan yang melampaui pengertian “agama” sebagai pelembagaan sistem kepercayaan yang dipercaya datang dari “Langit”.
Itu sebabnya saya bercerita tentang bagaimana Buddhisme mengajarkan kedalamaian, kesederhanaan, dan kebenaran, yang agak berbeda dibandingkan sistem kepercayaan lain, dengan membaca kembali Steve Hagen dalam buku Buddhism – Plain and Simple berikut ini.
Sore yang menyenangkan. Kamu makan bersama kawan-kawan, nostalgia, menyanyi, menanyakan kabar anak dan pekerjaan. Beban hilang sesaat, namun setelah kembali ke rumah, kembali bertemu masalah. Kita mengawetkan momen pertemuan itu dengan upload foto selfie dan pembicaraan di group. Sampai kegembiraan itu berlalu.
Banyak orang merasa tidak puas, tertekan dan ketakutan. Apa yang sebenarnya kita lewatkan dan lupakan?
Banyak orang tertarik pada Buddhisme, yang sebenarnya tidak pas jika kita sebut sebagai “agama” atau “kepercayaan” berdasarkan sistematika filsafat Barat. Buddhisme lain. Buddhisme sudah ada ribuan tahun yang lalu. Buddhisme bukan kepercayaan. Dia melampaui semua itu.
Steve Hagen menjelaskan Buddhisme dengan bahasa yang sangat mudah dicerna, mengesankan, dan membuat saya tersadar ternyata saya tidak mengerti Buddhisme sama sekali. Steve Hagen menceritakan Buddhisme yang langsung dan sederhana, dengan cara yang langsung dan sederhana. Steve Hagen menulisnya dalam Buddhism Plain and Simple, terbitan November 13, 2018.
Buddhisme mengajarkan.. Semua yang kita cari, ada di depan mata. Apa yang kita idamkan adalah “mengalami kenyataan” namun ada tabir ini: keinginan, ketakutan, pendapat, dan persepsi.
Ada praktik yang membantu kita mengatasi emosi dan kepalsuan, untuk menemukan kedamaian pikiran.
Sengsara datang dari ketidakmampuan kita melihat dan menerima sesuatu sebagaimana adanya. Kita sering membandingkan kenyataan dengan keinginan dan harapan. Buddhisme memberikan jawaban: yang harus kita lakukan hanyalah #menyadari “sekarang” (saat ini).
Lebih sering, tabir datang. Kita habiskan waktu untuk menilai: diri sendiri, orang lain, dan situasi, berdasarkan apa yang kita harapkan. Kita sibuk melarikan-diri (walaupun sesaat) dan mencari ekspresi kebahagiaan semu. Inilah tabir antara kita dengan kenyataan.
Pertanyaan penting menurut Buddhisme, ketika kita “merasa” sedang mengalami sesuatu, misalnya, penderitaan, adalah: “Benarkah ini penderitaan?”.
Kita sering menilai situasi sebagai sesuatu yang “umum”, dengan penilaian umum. Haus pengalaman nyata dan kita kehilangan pengalaman itu, karena tidak menyadari apa yang kita alami. Kita sering kecewa karena berharap kenyataan “tidak seperti sekarang” padahal itulah yang sedang terjadi.
Ajaran Buddha mengajarkan: kita akan menderita selama kita terus melawan perubahan. Kita sering melihat perubahan sebagai proses “menua”, menuju mati, dan itu berarti kehilangan dunia dan orang-orang yang kita cintai. Terjebak dalam lingkaran kebingungan, alarm, dan ketidakpuasan.
Rasa sakit kita terkait dengan ketidakmampuan memahami kenyataan sebagaimana adanya, sehingga tidak bisa menyadari hal-hal sebagaimana adanya.
Buddhisme tidak menyarankan kita untuk “lepas kendali”. Buddhisme mengajarkan bahwa sejak awal kita tidak pernah memiliki apa-apa. Kita selalu berubah, apapun selalu berubah.
Buddhisme punya 8 praktik untuk kedamaian pikiran, 2 di antara praktik itu tentang mengubah cara berpikir kita. Pandangan benar, niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan meditasi benar.
Bagaimana agar pikiran mencapai tenang dan damai menurut Buddhisme?
Jangan melihat dunia sebagai “latar belakang konsep-konsep yang tetap”. Dunia perlu kita lihat sebagai “keseluruhan” dan selalu “berubah”. Dunia itu seperti “air” yang bisa beruba bentuk dari-ke cair, gas, atau padat.
Kebanyakan orang, melihat aspek tunggal yang sementara dan membekukan penglihatan mereka menjadi konsep dan opini. Seperti melihat film dan terpaku pada 1 aspek saja. Ada banyak cara, sudut pandang, dalam memahami sesuatu, namun pandangan yang berbeda ini bisa menjadi sumber konflik. Seperti itulah arti “pandangan benar”. Tidak menilai sesuatu secara tetap dan berakhir sebagai opini.
Niat yang benar artinya tekad kuat untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, tenggelam dalam “sekarang”, tidak menginginkan hal-hal lain yang semu, dan keinginan mempraktikkan “pandangan benar”.
Jalan mencapai pencerahan, tidak cukup sampai di situ. Upaya benar berarti memastikan bahwa kamu bertindak dan berpikir tanpa bersusah payah, dengan menyadari kamu tidak bisa mengendalikan sesuatu. Upaya benar berarti kamu tidak khawatir dan tidak takut sama sekali ketika melakukan itu.
Kita sering terjebak untuk menolak perhatian semu, misalnya, risih ketika mendengarkan suara tetesan terus-menerus dari keran air yang bocor. Kebanyakan orang, fokus kepada hal-hal eksternal (di luar diri) dan ingin mengendalikan itu. Coba balik, jangan fokus di situasi luar, tetapi fokus kepada perasaan kamu. Coba rasakan, bagian mana dari dirimu, secara fisik, yang bereaksi negatif terhadap apa yang terjadi di luar? Kendalikan dengan melatih pernafasan dan merelakan sesuatu yang di luar kendali kita.
Kita akan menyadari, kebanyakan hal yang membuat kita marah dan sakit itu terjadi karena pikiran dan reaksi kita sendiri.
Gagasan tentang diri bukanlah batasan tentang individualitas kita.
Orang sering bertanya (dan terjebak dalam filema filosofis): Apa sebenarnya aku ini? Siapakah aku? Apa yang terjadi setelah aku mati? dst.
Agama berdebat tentang jiwa. Ada yang menganggap jiwa itu abadi, ada yang mengatakan jiwa dan tubuh memiliki analogi seperti burung dan sangkar. Orang Hindu menyebut jiwa abadi ini sebagai “atman”. Materialis menyatakan, kita ini makhluk psiko-fisis, perpaduan jiwa dan fisik.
Buddhisme memiliki pandangan berbeda tentang jiwa. Kedua posisi di atas, menjadi mangsa ilusi yang sama. Kenyataan bicara lain. Tidak ada yang namanya “jiwa”, “diri” atau “kepribadian”. Kita sering memahami sesuatu yang selalu berubah dengan teori yang beranggapan bahwa semua itu “tetap” (teorinya benar). Kita cenderung melihat diri sebagai gabus di arus waktu, atau debu di multiverse. Buddha menyebut konsep diri yang ditawarkan filsafat dan agama sebagai “pandangan beku”. Kenyataan: seiring waktu, kita selalu berubah. Ide, emosi, pikiran, sikap kita mengalir. Buddha menyebut “individu” sebagai “aliran” (flow). Yang bergerak terus menerus adalah pusat kehidupan. Dengan pengertian seperti ini, kita tidak tenggelam dalam arus karena kitalah arus itu.
“Semua hal” adalah milik “keseluruhan”.
Realitas sering tampak ada sebagai dunia yang kontras dan berbeda. Tidak. Perbedaan terjadi karena cara-pandangn kita terhadap dunia yang terdiri dari kebenaran relatif (yang saling berhubungan) yang kita pakai untuk memahami dunia. Kebenaran relatif itu arbitrer, hasil pikiran ketika kita memisahkan satu obyek atau konsep dari yang kita anggap bukan. Seperti ketika kita melihat lukisan obyek dengan background, laki-laki atau perempuan, kategori baik atau buruk. Kebenaran realatif lebih mirip ilusi optik: kadang terlihat seperti rusa, kadang seperti kelinci.
Faktanya, bahasa kita didasarkan pada kebenaran relatif. Kita berada dalam kontak permanen dengan kebenaran relatif, lupa bahwa kebenaran relatif itu sering sewenang-wenang mengacaukan pikiran dan kedamaian kita.
Semua milik keseluruhan. Dan terhubung. Segala sesuatu terjadi sebagai hubungan sebab-akibat dan tidak ada yang muncul dengan sendirinya, terpisah dari realitas lain. Ketika kita mengkonsepsikan sesuatu, kita sedang menciptakan “lawan” dari sesuatu itu. Menyatakan “kegelapan” dan “ketiadaan cahaya” tidak dapat kita pisahkan.
“Keutuhan” adalah kebenaran mutlak. Kata memotong dunia menjadi beberapa bagian. Kebenaran mutlak bersifat “langsung”, tidak memisahkan kita dari realitas. [dm]