SEMARANG (jatengtoday.com) – Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai penataan transportasi di Jawa Tengah hingga 2019 ini mengalami perkembangan cukup baik. Meski kebutuhan transportasi massal belum sepenuhnya tercukupi.
Sebab, masih banyak masterplan transportasi massal yang belum terealisasikan. Antar provinsi, kota dan kabupaten seharusnya terintegrasi. Namun hal itu membutuhkan anggaran dan waktu yang tidak sedikit.
Namun demikian dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang itu melihat adanya progres baik. Pemerintah daerah kabupaten maupun kota mestinya mencontoh penerapan pengelolaan transportasi massal yang telah teruji efektif.
“Operator bus adalah operator existing, tidak menggusur, akan tetapi menggeser. Salah satunya menggunakan sistem scrapping,” kata Djoko, Minggu (31/3/2019).
Sistem ‘scrapping’ atau 3 in 1 adalah mengumpulkan sejumlah kendaraan angkutan umum lama untuk dijual dan dibelikan satu armada Bus Rapid Transit (BRT). Pengusaha angkutan umum lama “digeser” untuk beralih mengelola BRT. Hal ini bisa menjadi salah satu solusi. Selain untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, juga meminimalisasi gesekan karena pengusaha transportasi massal yang sudah ada. Para pelaku transportasi angkot dilibatkan dalam pengelolaan BRT, bukan “digusur” oleh kedatangan BRT.
“Model sistem yang diselenggarakan oleh Dinas Perhubungan Jawa Tengah dapat ditiru daerah lain. Bahkan, secara nasional juga kemungkinan bisa digunakan daerah lain dengan beberapa hal penyesuaian,” katanya.
Dikatakan Djoko, Dishub Jateng juga melakukan pendampingan kepada operator bus terkait pengoperasian bus sesuai standar pelayanan minimal (SPM) dan standar operasional prosedur (SOP), tata kelola administrasi pelaporan operasional bus dan proses pencairan biaya sewa kendaraan.
“Layanan harus disesuaikan dengan standar SPM angkutan massal berbasis jalan yang meliputi keamanan, keterjangkauan, keselamatan, kenyamanan, keteraturan dan kesetaraan,” katanya.
“Pengembangan angkutan Aglomerasi Jawa Tengah, menggunakan sistem beli layanan atau buy the service, bayar layanan bus-kilometer, layanan bus sesuai SPM yakni PM No. 27 Tahun 2015, penunjukan operator melalui proses lelang, dan pengadaan halte,” katanya.
Sedangkan peran operator, lanjutnya, adalah membentuk konsorsiun usaha angkutan pada dua wilayah kota/kabupaten, pengadaan bus baru, prioritas anggota konsorsium angkutan yang berhimpit dengan koridor bus terbangun.
“Sistem scrapping yang sudah dilakukan adalah untuk Koridor Stasiun Tawang (Kota Semarang) – Terminal Bawen (Kabupaten Semarang) yang telah discrapping 61 unit kendaraan. Koridor ini mengoperasikan 25 unit bus sedang. Koridor ini mulai beroperasi Juli 2017. Jarak tempuh 36,5 km, waktu tempuh 90 menit, 6 rit per hari, headway 10-15 menit, laju rata-rata 30 km/jam,” katanya.
Sedangkan untuk Koridor Purwokerto – Purbalingga mengoperasikan 14 bus sedang. Jumlah kendaraan yang telah discrapping 55 unit kendaraan. “Mulai beroperasi 13 Agustus 2018. Jarak tempuh 33,5 km, waktu tempuh 80 menit, 8 rit per hari, headway 15-20 menit, laju bus 30 km/jam,” katanya.
“Operator bus melakukan perekrutan pengemudi dari pengemudi yang terkena scrapping menjadi pengemudi, kru, administrasi, dan pegawai bengkel. Saat ini, pegawai Non ASN untuk Koridor Stasiun Tawang – Bawen sebanyak 111 orang. Koridor Purwokerto-Purbalingga sebanyak 71 orang,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto