SEMARANG (jatengtoday.com) – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menetapkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate melakukan perbuatan melawan hukum atas pemblokiran internet di Papua menjadi perhatian.
Kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 tersebut digugat oleh SAFEnet Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan terdaftar di PTUN dengan nomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta. Sebagai tergugat adalah Menkominfo dan Presiden Joko Widodo.
Menkominfo Johnny G Plate berdalih pemblokiran dilakukan karena adanya kerusakan infrastruktur. Menkominfo kala itu masih dijabat Rudiantara.
Pakar Information technology (IT) Solichul Huda turut menyampaikan kritik dan analisa terhadap permasalahan tersebut. “Menkominfo dalam merespons permasalahan tersebut salah. Kesalahannya melakukan pemblokiran internet tanpa ada regulasi yang mendukung. Kalau alasannya rusak, itu jelas tidak. Seandainya rusak, jaringan operator kan tidak hanya satu. Rusak pun paling satu lokasi. Tidak mungkin rusaknya satu, terus semua jaringan internet se-Papua diblokir kan tidak mungkin,” ungkapnya, Jumat (5/6/2020).
Dikatakannya, seandainya telah ada regulasi pun, Menkominfo harus menyediakan Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Karena menyangkut hak bicara atau bersuara yang dilindungi Undang-Undang (UU). Tujuan pemerintah sebetulnya benar, yakni agar masyarakat tidak melakukan penyebaran SARA dan berita hoax, untuk melindungi supaya warga jangan sampai melanggar UU ITE Pasal 28,” ungkapnya.
Huda mengaku memahami maksud Menkominfo terkait pemutusan jaringan internet tersebut. “Kekhawatirannya itu kalau informasi yang tidak benar seperti penyebaran SARA dan hoax beredar di media asing. Saya melihatnya dari sisi kebangsaan secara umum seperti itu. Tetapi kebijakan tersebut muncul tanpa didukung regulasi maupun SOP,” kata doktor Ilmu Komputer ITS Surabaya itu.
Mengenai dalih kerusakan infrastruktur, menurut Huda, jelas tidak masuk akal. Dikatakannya, di manapun jaringan internet tergantung jaringan infrastruktur telekomunikasi seluler seperti Telkomsel, Indosat, XL dan lain-lain.
“Kalau dalihnya kerusakan infrastruktur, justru dipertanyakan masyarakat. Mestinya pemerintah memberikan alasan yang tidak membingungkan. Infrastruktur rusak kok sudah ditentukan. Sebaiknya, Menteri itu kalau berbicara ya memberikan penjelasan secukupnya dan jelas, karena menunjukkan kualitas,” kata mantan tim siber 01 ini.
Kasus seperti terjadi di Papua tersebut, lanjut dia, mestinya tidak perlu diblokir. Misalnya yang dikhawatirkan media asing mengakses data tidak benar, Kominfo sebetulnya bisa memfilter.
“Internet di daerah tertentu hanya bisa diakses oleh web-web atau siapapun yang telah terdaftar terlebih dahulu, kan bisa seperti itu. Tidak harus diblokir atau ditutup semua. Itu tidak boleh,” terang dia.
Menurut Huda, semestinya tidak perlu ada kebijakan “lucu” seperti ini apabila paham dan mengerti bidang tersebut. Sejauh ini Kominfo belum menunjukkan peran yang semestinya.
“Di masa seperti saat ini contohnya, penggunaan teknologi video conference seperti Google Meet, Zoom dan lain-lain, merupakan produk asing semua. Padahal Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia (SDM). Pemerintah seharusnya mengoptimalkan SDM sendiri agar tidak dikuasai asing. Kenapa SDM kita tidak bisa muncul? Ini menunjukkan kementeriannya tidak mempunyai kemampuan dasar ke sana,” tandasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto