UNGARAN (jatengtoday.com) – Sebagian besar desa wisata di Jateng masih mengandalkan potensi alam. Terutama spot-spot yang instagramable atau layak swafoto. Desa wisata yang mengandalkan keeksotisan seni budaya masih minim.
Untuk merangsang pengelola desa wisata berinovasi soal seni budaya, Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng menggelar Festival Desa Wisata Tahun 2018. Acara yang digelar di Alun-Alun Bung Karno, Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang selama dua hari, Sabtu (14/7) hingga Minggu (15/7) ini melombakan kreasi pertunjukan seni budaya dari 35 kabupaten/kota se-Jateng.
Kepala Disporapar Jawa Tengah Urip Sihabudin menyampaikan, festival yang dilaksanakan tersebut merupakan upaya realisasi dari hasil pertemuan dengan para pengelola serta pegiat desa wisata se-Jateng di Kabupaten Magelang pada 2017 lalu.
“Kami bersyukur, di Ungaran bisa berkumpul. Hanya dua yang belum jelas akan berpartisipasi atau tidak. Ini belum jelas, di pembukaan ini masih kosong stan nya, yakni perwakilan dari Kabupaten Jepara dan Karanganyar. Yang ada di sini adalah desa wisata terbaik di tiap daerahnya,” jelasnya.
Dari datanya, hingga pertengahan tahun ini total ada sekitar 238 desa wisata di Jateng. Dari angka itu, yang aktif dan telah memperoleh surat keputusan dari para pimpinan daerahnya ada sekitar 147 desa wisata.
“Di satu sisi, semakin banyaknya desa wisata semakin menggembirakan bagi kami. Tetapi di sisi lain memprihatinkan. Itu dikarenakan rata-rata potensi yang ditunjukkan oleh desa wisata itu hampir sama atau sejenis,” tuturnya.
Urip khawatir, ketika mayoritas potensinya sama atau sejenis, berpeluang bisa saling mematikan. Terlebih ketika antar desa wisata jaraknya saling berdekatan. Hal itu menurutnya yang perlu menjadi perhatian serius di tengah bermunculan desa-desa wisata.
“Kami sudah ada rencana dan ini sedang kami siapkan suatu peraturan daerah khusus tentang desa wisata. Nanti melalui Perda Provinsi Jawa Tengah tersebut, akan diatur baik itu konsep pengembangan potensi-potensi di tiap daerah. Termasuk juga mungkin syarat suatu desa menjadi desa wisata,” tegasnya.
Karena itu, dia berharap ada diferensiasi antardesa wisata. Dengan begitu, akan ada persaingan sehat untuk menggaet wisatawan.
Ke depan, lanjutnya, desa wisata akan mengarah ke filosoffi sesungguhnya. Yakni transformasi. Ketika pengunjung datang, yang dibutuhkan adalah detail tentang wisata itu. “Jadi ini bisa membuat lama tinggal wisatawan jadi lebih panjang. Tidak hanya sambil lalu. Mereka bisa betah berlama-lama saat berwisata di suatu daerah,” harapnya. (ajie mh)
Editor: Ismu Puruhito