SEMARANG (jatengtoday.com) – Pusat batu akik dan batu mulia di Pasar Dargo Semarang sempat menjadi fenomena beberapa tahun lalu. Saat demam batu akik mencuat, lokasi itu selalu disesaki pengunjung.
Namun saat ini kondisinya memprihatinkan. Dari ratusan toko batu akik, tidak lebih dari 50 toko yang masih bertahan. Selain itu, pengunjung di Pasar Dargo juga sepi dan para penjual hanya duduk-duduk di depan toko.
“Kondisinya memang sekarang sepi, namun kami yang penjual asli batu akik tetap bertahan,” kata Andis Sulistyo, salah satu pedagang batu akik di Pasar Dargo Semarang, Selasa (11/9/2018).
Andis yang juga Wakil Ketua Paguyuban Pedagang itu mengatakan, saat ini tidak lebih dari 50 pedagang yang bertahan dengan kondisi tersebut. Meski sepi pembeli, mereka tetap setia menjajakan barang dagangannya.
“Ya sekarang pangsa pasar kami hanya langganan dan kalau ada orang kesasar mampir untuk membeli batu akik di sini,” imbuhnya.
Sepinya pengunjung membuat omset penjualan batu akik dan batu mulia turun drastis. Dari yang semula sehari dapat menghasilkan Rp3 juta sampai Rp4 juta, kini dalam sehari kadang mereka tidak menjual satu barang pun.
“Omset sekarang tidak bisa perhari lagi, namun perbulan. Dalam sebulan dapat uang Rp500 ribu saja sudah sangat bagus,” keluhnya.
Kondisi tersebut, lanjut Andis, jelas sangat disesalkan. Selain booming batu akik yang memang sudah pudar, kurangnya perhatian dari Pemkot Semarang kepada para penjual juga menjadi penyebabnya.
“Dibanding kota lain seperti Solo, Pekalongan, dan Jogja, kondisi Kota Semarang yang terparah. Di kota-kota itu masih ramai pembeli karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah,” imbuhnya.
Hal itu dibenarkan oleh Wawan Setiawan, pedagang batu akik lainnya. Menurutnya, pemeritnah seolah lepas tangan kepada para pedagang dan tidak memberikan solusi agar lokasi itu kembali ramai.
“Wacana menjadikan Pasar Dargo sebagai pusatnya batu akik dan batu mulia se Jawa Tengah juga sampai sekarang tidak ada kejelasan,” kata dia.
Pemerintah, lanjut Wawan, seharusnya mencarikan sponsor yang dapat membiayai kegiatan pameran di lokasi itu. Dengan sering dilakukan pameran, sudah barang tentu pengunjung akan banyak yang datang.
“Kalau dibiarkan seperti ini terus, nanti lama-lama juga akan mati,” ucapnya.
Kondisi sepinya pembeli membuat para pedagang terus merugi. Sejumlah barang dagangan terpaksa harus dijual lebih murah dari harga beli awal demi mendapatkan uang.
Misalnya jenis batu Pirus yang semula dibeli Rp1 juta. Saat ini pihaknya hanya mampu menjual Rp600 ribu saja. Belum lagi batu lain yang jenisnya lebih rendah, maka harga jualnya pun semakin anjlok.
“Apalagi jenis umum misalnya Kalsedon, itu dulu kami beli Rp200 ribu, sekarang dijual Rp50 ribu. Mau bagaimana lagi, demi mendapatkan uang untuk keluarga,” pungkasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto