SEMARANG (jatengtoday.com) — Bukan sembarang batik. Di Semarang ada batik dengan pewarna limbah pohon bakau atau mangrove. Motif batiknya juga unik karena serba-ekosistem laut.
Batik tersebut dibuat Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Batik Alam Wijayakusuma di Kampung Ngebruk, Kelurahan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.
Salah satu perajin batik, Nur Hayati bercerita, pembuatan batik dengan pewarna alami membutuhkan waktu yang cukup lama dibanding batik jenis lain. Prosesnya juga tidak mudah.
“Untuk batik dengan kain ukuran 2×1 meter butuh waktu sekitar sebulan. Kalau batik tulis memang lama, beda dengan batik cap,” ujar Nur saat ditemui, Kamis (24/11/2022).
Tahap awal yang harus dipersiapkan adalah memilih bagian dari pohon mangrove untuk dijadikan pewarna. Bisa dengan memanfaatkan akar, batang yang masih muda, ataupun kulit dari pohon mangrove.
Namun, untuk pemanfaatan kulit pohon yang masih hidup, jarang dilakukan karena bisa membuat mangrove mati. “Seringnya pakai akar. Caranya direbus dulu terus kainnya dicelupkan,” imbuhnya.
Ia sengaja memanfaatkan mangrove sebagai pewarna alami agar tidak merusak lingkungan. Kebetulan, kampungnya terkenal sebagai tempat pembibitan dan konservasi mangrove.
Perajin batik lain, Mustaqomah menambahkan, kelebihan teknik pewarnaan yang kelompoknya pakai adalah hasilnya bagus, tidak bisa luntur.
Sementara kelemahannya yakni hasil warnanya dominan cokelat. Untuk menghasilkan warna yang beragam harus dicampur dengan warna lain.
“Kami sudah bisa hasilkan banyak warna. Kalau mau kuning kunyit ya campur dengan kunyit. Bisa juga dicampur tanaman indigo biar jadi hijau,” jelas Mustaqomah.
Motif Batik Khas Pesisir
Motif batik yang diproduksi pelaku UMKM Batik Wijayakusuma dari pesisir Semarang ini tidak lepas dari ciri khas wilayahnya. Mereka membuat corak yang serba-ekosistem laut.
Di kelompok ibu-ibu perajin batik tersebut, Putri jadi orang yang kerap ditugasi membuat pola. Katanya, ada motif bunga mangrove, motif pantai, motif udang windu, motif kerang, dan lain-lain.
“Saat ini kami sudah mematenkan dua motif, semuanya motif pohon mangrove karena mangrove kan banyak jenisnya,” ucap Putri.
Para perajin batik, termasuk Putri mengakui bagian tersulit dari membuat batik tulis adalah membuat pola. Apalagi, dari delapan anggota kelompok yang aktif, tidak semuanya bisa membuat pola.
Jaga Lingkungan
Ketua kelompok perajin batik di kampung tersebut, Hariyati menegaskan, pembuatan batik dengan pewarna mangrove dan motif serba-ekosistem laut ini sekaligus menjadi kampanye menjaga lingkungan.
Kelompok Batik Wijayakusuma sudah didirikan sejak 2014 silam. Sampai saat ini terus berproduksi meski jumlah yang dihasilkan masih terbatas.
Batik tulis buatan ibu-ibu pesisir ini dibanderol dengan harga Rp400.000–Rp500.000 per lembar ukuran 2×1 meter.
Kini kelompoknya juga membuat batik cap dengan pewarna alami yang harganya lebih murah, sekitar Rp300.000.
Pemasaran produknya sering kali hanya mengandalkan event pameran atau kalau ada kunjungan wisatawan di Kampung Ngebruk, Kelurahan Mangkang Wetan.
Hariyati mengaku bersyukur karena sudah lama dibantu oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation dalam hal pelatihan maupun pemasaran produk.
“Kami ditemukan dengan IIWC sampai kerja sama dengan orang luar negeri. Djarum Foundation juga sering membawa tamu ke sini untuk membeli batik karya kami,” pungkasnya. (*)
editor : tri wuryono