in

Baliho Politik: untuk Konstituen atau Rakyat?

Melihat kembali efektivitas baliho politik dalam pemilu. Efeknya hanya 17-23%.

Baliho politik sepanjang jalan, di tempat-tempat strategis, sampai pelosok desa. Menjadi trending topic. Hanya sedikit yang “bebas pajak reklame”, tetapi jangan hitung di tempat-tempat milik pribadi (bukan public area).

Baliho ini tidak bebas dari “pajak perhatian”, yang tak-terlihat, namun efeknya sebagaimana iklan produk: perhatianmu tersita 4-5 detik, sekali waktu. Setelah itu, tertarik atau tidak, itu akan memengaruhi tindakan dan keputusan kita. Menyita perbincangan kita.

Baliho politik di dekat saya dan yang di Beranda media sosial kamu. Tergantung, melintang, masuk layar, dan kalimat normatif. Sekadar hadir. Menjadi laporan internal partai, “Sudah pasang spanduk? Sudah konsolidasi sampai mana?”.

Baliho politik memiliki banyak status. Hiasan rutin “dalam rangka..”. Menghalangi kenyamanan (desainer menyebut ini:”sampah visual”). Konsolidasi calon. Mobilisasi. Keuntungan percetakan. Sampah plastik berbahan MMT. Slogan. Profile calon. Suara rakyat, mungkin bukan. Suara konstituen, mungkin bisa. Elektabilitas.

Menurut riset, efektivitas spanduk hanya 17-23% dari elektabilitas orang atau partai.

Baliho politik tidak bisa bebas dari interpretasi semiotik. Orang bisa melihat seperti apa partainya, seperti apa orangnya? Tidak peduli dikerjakan oleh desainer sama, percetakan sama, atau pakai template instan gratisan, kelihatan seperti itulah mereka. Baliho politik mencerminkan situasi yang sekarang terjadi. Protes yang paling keras, kalau ada yang setengah dirobek (tidak sepenuhnya dilepas), dibakar, atau diberi “tanda tangan” pemrotes dengan menambahkan kata-kata pedas.

Apa yang terlihat di baliho politik, seperti itulah kapasitas pembuatnya. Dan keadaan masyarakat di sekitarnya.

Berapa persen yang punya janji tertulis? Berapa persen yang memperlihatkan “lokalitas” dapil yang akan mereka wakili? Adakah gambar wajah lain, yang bukan ulama, tokoh masyarakat, atau pejabat di atasnya, yang hadir di situ? Siapa yang merasa terwakili di situ?

Sejak masih gambar, mereka sudah mewakili dirinya sendiri.

Adakah kalimat yang benar-benar kita perbincangkan, sampai kita terobsesi untuk datang kepada calon, lalu memberikan dukungan resmi? “Saya tertarik dengan program Anda. Saya dan 25 orang kawan siap menjadi relawan agar dapil kita membuat perbedaan.”.

Spanduk itu muncul sebagai kepatuhan. Penyangga performance politik yang sedang dominan. Sintaksis yang terbatas pada “dukungan” dan “memo”. Tidak ada penyimpangan, karena dari atas. Tidak untuk menarik perhatian orang luar.

Mereka takut kontroversi. Tidak berani menantang “status quo”, keadaan yang belum berubah.
Cara-cara lama yang akan terus dijalankan, dengan lobi, sowan, dan menjalankan pasewakan agung di ruang tamu. Anjuran yang datar. Doa yang selalu darurat.

Ada “manusia” di balik semua anggaran, di balik tindakan politik. Bukan sebatas kata-kata di baliho politik, lobi, dan konsolidasi. Manusia itu yang melihat spanduk politik dengan mimik wajah yang datar. Yang tidak benar-benar kamu ajak untuk membuat perubahan. [dm]