Kebanyakan, karena pola negatif dalam membaca.
Mereka punya motivasi, sangat kuat. Yang perlu dipersoalkan, dari mana dan bagaimana motivasi ini terbentuk, sehingga menjadi pola negatif.
Membaca berarti.. Terbuka terhadap gagasan dan pengalaman orang lain. Pintu petualangan. Kebebasan memilih. Tidak terkurung di tubuh sendiri. Terhubung ke banyak suara. Berbicara dengan lisan orang lain, dan kamu menyimak.
Membaca itu penting. Mudah sekali pengertian ini menjadi pola negatif. Dosen, orang pintar, penulis, iklan dari penerbit, semua bilang, “Membaca buku itu penting”. Ada dorongan merasa wajib membaca “buku ini”, bukan karena minat yang nyata.
Saya sering menjumpai kawan yang memiliki daftar buku yang ingin ia beli, untuk dapat dibaca dengan tenang. Kemudian keinginan ini kandas, karena pola negatif: dunia luar mendorongnya harus membaca buku itu.
Target “harus” membaca, nomor satu, datang dari perkuliahan. Kedua, dari iklan penerbit buku.
Mereka memikirkan target, membayangkan hasil (outcome), jarang memikirkan bagaimana cara (metode) mereka membaca buku.
Komitmen “.. harus menyelesaikan buku ini”, sangat tidak baik, jika tidak memperhatikan “cara membaca” dan memperlakukan buku secara sama. Itu sama saja dengan meminta diri sendiri melakukan sesuatu, tanpa menata bagaimana caranya, tahapan apa yang mau dijalankan. Tindakan ini sangat tidak terpelajar. Tidak mungkin membaca Shakespeare dalam semalam, kecuali ia hanya membaca sepintas, bukan melakukan pendalaman. Reading and comprehension bukanlah kerjaan iseng. Orang sering terdorong, lalu jatuh pada keinginan tanpa habisnya, hanya karena dunia luar mewajibkan ia membaca buku. Dunia luar mengatakan “bagus”, “harus”, “beli”, dan di Beranda media sosial terdapat banyak medali partisipasi bertuliskan: “Saya sudah membaca buku ini”.
Benarkah kamu sudah membacanya sampai tuntas? Apa yang kamu pelajari dari buku ini? Tindakan dan keadaan apa yang berhasil berubah setelah kamu membaca ini?
Lin Yutang menyatakan, “Siapapun yang membaca buku dengan rasa kewajiban, tidak memahami seni membaca.”.
Buku yang berhasil dan membuat teringat, selalu buku yang berhasil mengubah cara kita melihat dunia. Buku yang buruk, selalu mengatakan, “duniamu seharusnya begini..”, sebaliknya, buku yang baik menunjukkan dunia secara “apa adanya”.
Membaca Bukan untuk mengumpulkan informasi. Jangan terjebak pada anggapan bahwa membaca itu untuk mengingat dan menghafal. Kenyataannya, orang lebih sering “memproses data” ketika sedang membaca, daripada membaca sebenarnya. Dalam memproses data, kamu sebaiknya menulis, mencatat, dan membuat skema.
Saya berikan contoh. Saya pernah tertantang dengan gagasan Edward De Bono, seorang ahli berpikir. Jadi, dia orang yang mengantar para programmer, analis, CEO, untuk memecahkan masalah mereka sendiri, dengan cara memahami caranya berpikir. Agak aneh, bagaimana “berpikir” menjadi “skill”. Ternyata, berdasarkan apa yang saya baca dari buku-buku Edward De Bono, berpikir merupakan cara yang bisa dipelajari.
Kecuali, kamu tidak percaya kalau cara-berpikir bisa kamu ubah.
Mental yang perlu kita tanamkan, bahwa setelah membaca ini, saya bisa menyelesaikan suatu masalah.
Di situ saya membaca secara tematis. Saya ingin tahu seperti apa skema gagasan Edward De Bono. Jadi, bukan 1 buku yang saya baca dari Edward De Bono. Saya harus menentukan, “Pemikiran Edward De Bono menyelesaikan masalah apa?”.
Jadi, sebelum membaca buku, pertanyakan, “Untuk apa saya membaca buku ini? Buku ini akan menyelesaikan masalah apa?”.
Temukan cara kamu membaca. Jika kamu menyerah ketika membaca (tidak mau bertanya, tidak buka kamus, tidak browsing tentang maksud buku itu), maka ini sama saja dengan melatih otak untuk autoreject. Menolak otomatis. Begitu besok ada content yang menurutmu sulit, langsung kamu abaikan, kamu tinggalkan. Padahal mungkin pengetahuan ini bisa membuat hidupmu berubah, sejalan dengan pekerjaanmu. Jangan latih otak untuk selalu menolak. Sebagaimana otot, kamu perlu melatih otak, agar semakin kuat.
Tujuan yang paling awet adalah mempelajari sesuatu. Belajar itu tumbuh, bukan tetap. Belajar menulis opini, akan membuka pikiran bahwa “saya belum bisa yang ini..”. Mengalami cerita orang lain. Menemukan cara melihat dan memahami dunia. Melihat “jalan” yang dilalui orang lain.
Dan jauh sekali, saya mencoret motivasi berikut: biar kelihatan keren, diwajibkan dosen, kata iklan buku ini bagus, dll.
Saya membaca karena pilihan. Bukan harus. Itulah yang bisa membuat saya lebih fokus, ingatan saya bisa bertahan, lebih membuka pikiran.
Karena mentarget (atau ditarget) harus menyelesaikan dalam waktu sekian jam atau hari, akhirnya, membaca hanya menjadi membaca. Pola ini sangat negatif. Tidak membuat catatan, tidak meng-inspeksi buku dengan pertanyaan, tidak melakukan pengujian, akhirnya.. buku hanya menjadi bacaan.
Tidak semua buku itu bagus. Pilihlah hanya buku bagus. Bukan buku yang bagus menurut iklan penerbit buku. Kalau tidak bagus, tidak usah beli, tidak usah baca.
Kawan-kawan saya, yang lebih suka membaca buku, memiliki intimasi dengan buku kertas. Rata-rata, mereka memberikan pernyataan seperti ini, “Saya terbiasa membaca buku kertas. Saya suka mencium bau buku, membuka-buka halaman, dan membaca kata per kata. Saya menikmati buku kertas.”.
Saya pernah mengalami itu, sebelum membaca ebook.
Membaca buku kertas itu kebutuhan yang sangat mewah. Terlalu mewah bagi saya, dari sisi waktu dan harga. Anggap saja, misalnya, kamu mau membaca 1 buku kertas. Harganya, 35 ribu rupiah. Harga buku sekarang, memang mahal, dan akan semakin mahal. Buku used (yang pernah dipakai), juga terjual mahal. Tidak jarang, sengaja dimahalkan dengan alasan kelangkaan dan nilai sejarahnya.
Kamu memilih, datang ke toko buku, atau menunggu pesanan online datang, sudah berapa lama? Sesudah itu, mau dibawa ke mana-mana, dalam tas, paling muat berapa? Adegan untuk fokus, mulai ambil buku, membaca, butuh beberapa menit. Apakah ketika sedang di kafe, atau di kamar, kamu membaca sambil menuliskan catatan? Jarang sekali yang melakukan itu.
Kalau mengandalkan ingatan, saya jamin, akan banyak yang hilang. Baiklah, anggap saja kamu jenius dan bisa mengingat apa yang kamu baca. Apakah kamu bisa membagikan “content” yang kamu baca itu kepada orang lain dengan cepat kalau membaca buku kertas? Yang kita temukan itu mereka memotret cover buku, atau 1 halaman, sambil minum kopi. Orang lain dapat apa? Mereka membaca untuk diri sendiri.
Mereka ini memperlambat distribusi informasi. Buku mereka berhenti di rak buku, kuil pengetahuan mereka. Orang lain dilarang pinjam. Ada aturan ketat, karena buku sudah menjadi property.
Saya membaca dengan cara seperti di atas: 1. Membuat catatan selama membaca atau memberikan garis bawah; 2. Mendiskusikan apa yang saya baca; 3. Membagikan apa yang sudah saya baca. Itulah yang membuat saya bisa menjelaskan apa yang saya baca. Yang tercepat dan bisa menjadi pembiasaan seperti ini, bukan ketika kamu membaca buku kertas, tetapi ketika membaca ebook.
Sebelum protes, saya jelaskan dulu, bagaimana saya menyukai buku kertas. Jangan dikira, saya benci buku kertas. Saya suka. Dulu saya membaca Das Kapital sambil sembunyi, karena itu salah satu buku terlarang. Apalagi mendiskusikan. Tidak semudah sekarang. Saya bisa mempelajari Ranggawarsita, harus ketemu ahlinya, dari Surakarta. Itu nggak ada di toko. Bisa membaca Paulo Freire, Edward De Bono, ketika masih semester 1, dapatnya dari buku loakan di Pasar Johar yang sekarang sudah nggak ada pasarnya. Baca kumpulan cerpen Putu Wijaya, dari Yogyakarta, yang saya beli ketika piknik. Saya tahu “nilai” buku kertas.
Pada tahun 1999 saya berkenalan dengan website. Ini bertepatan setelah Reformasi 1998. Harga internetan per jam, waktu itu 7 ribu rupiah. Namanya “Zona Cafe”, di Simpang Lima Semarang. Kalau di-kurs dengan rupiah sekarang, sekitar 15 ribu. Siapa yang mau internetan dengan harga 7 ribu per jam di zaman itu? Hanya yang suka dengan internet. Masih pakai Yahoo! (belum ada Google), mIRC group #semarang di DALnet baru beberapa orang di tahun 2000, penyimpanan masih 1.44MB di foppy disk.
Waktu itu, ebook kebanyakan masih berbentuk .txt dan .html dan operating system masih Windows 95.
Yang saya dapatkan dari warnet adalah akses baca buku. Saya membaca Marx, Nietzsche, buku Meijn Kampf Hitler, dan banned books. Ini fantastis bagi mahasiswa yang setiap hari dapat kuliah filsafat. Saya mencetak-ulang buku dari file menjadi print-out kertas, dengan printer dot matrix Epson IP300 dengan kertas buram 60 gr. Saya membaca di font ukuran 8pt hanya agar tidak terlalu banyak kertas terpakai.
Apa saya langsung paham dengan apa yang saya baca waktu itu? Tidak. Itu teks berbahasa Inggris, belum diterjemahkan di Indonesia, dan isinya technical terms yang harus saya pahami. Saya ambil contoh, buku Rene Descartes yang berjudul Meditations. Bahasa Perancis tahun 1596 dan diterjemahkan ke Inggris. Tipis namun perlu pemahaman lama. Atau buku Critique of Practical Reason karya Immanuel Kant, dalam bentuk fotokopian, saya dapat ketika ada seorang kawan ingin menerjemahkan salah satu buku yang saya punya.
Saya bawa Oxford Pocket Dictionary, yang saya beli dari Pasar Johar. Saya mencetak buku yang saya cetak tadi, dengan font 9pt. Sangat penuh coretan. Saya suka bikin anotasi, menarik garis-bawah, dan membuat skema pemikiran penulis. Atau di balik halam kosong, saya tuliskan lebih banyak anotasi.
Pertanyaan saya ketika membaca buku:
Buku ini menjawab masalah apa?
Penulis menguraikan detailnya seperti apa?
Mana kutipan yang mengatakan itu?
Akar pengetahuan buku ini dari mana?
Saya bisa kembangkan masalah apa dari buku ini?
Bisakah saya gambarkan gagasan orang ini di kertas?
Untuk mencapai keajaiban seperti David Harvey, yang bisa meringkas Kapital (karya Karl Marx), kamu harus membaca dan berlatih membuat skema. David Harvey meneliti Kapital selama 50 tahun. Singkatnya, kamu butuh pembacaan orang lain, yang memiliki otoritas keilmuan di bidang itu, agar kamu memndapatkan perspektif tentang buku itu. Bukan demi mengutip apa yang ia katakan. Contoh lain lagi, ketika saya membaca Nietzsche, yang merupakan pengantar bagus ke pemikiran Nietzsche, karya ST. Sunardi, saya jadi mengerti tentang bagaimana sebaiknya saya membaca Nietzsche.
Saya membutuhkan waktu 1 minggu untuk membaca buku filsafat berbahasa Inggris ini. Kalau sudah selesai, saya buat “summary” dan “schema” dari apa yang saya baca.
Hampir semua kawan-dekat saya, selalu mengenal apa yang saya bawa: buku catatan, spidol Snowman, pensil, dan kertas bekas.
Itu kebiasaan yang sangat melelahkan namun bisa membuat saya tidur tenang.
Saya membaca di atas genteng, sore hari, agar bisa fokus. Tepat di atas saya, ada langit. Beberapa burung melintas. Kadang ketiduran. Malam hari, saya membaca ditemani MTV. Sampai sekarang, kalau ada lagu, bisa membuat saya ingat sedang membaca apa waktu itu.
Melompat beberapa tahun kemudian. Saya menyadari sisi tak-ilmiah dari hobi membaca saya. Tanpa penyesalan, saya memperbaiki cara saya membaca buku.
Pada suatu hari, saya merenungkan kebiasaan saya membaca buku, kemudian menemukan beberapa “kesalahan” saya.
Wujudnya, pertanyaan dan jawaban.
Apakah kamu membaca buku baru dan bagus? Untuk buku perkuliahan, tidak. Kebanyakan, itu buku teks wajib yang diharuskan baca, ada di silabi perkuliahan. Untuk buku bacaan sendiri, saya ke perpustakaan atau beli. Dan ternyata, waktu saya habis untuk pulang-pergi ke perpustakaan, adegan meminjam buku, membaca, mengembalikan lagi agar tidak kena denda.
Apakah kamu selalu membuat catatan ketika membaca? Lebih sering, tidak. Selain tidak sempat, saya malas, karena, itu hanya bacaan. Hasilnya, banyak momen bagus terlewatkan.
Apakah kamu memiliki semakin banyak buku? Tidak. Saya pernah meninggalkan 76 buku di suatu tempat di mana saya tidak bisa kembali mengambilnya. Setiap kali mau mengkoleksi buku, banyak buku hilang karena dipinjam orang atau diambil orang.
Apakah ringkasan yang kamu buat, sepenuhnya applicable dan bisa dibaca kawanmu? Tidak. Ini kertas fisik. Malah banyak yang hilang. Catatan saya ternyata tidak permanen.
Apakah akses kamu ke perpustakaan semakin luas? Tidak. Hidup saya sering berpindah. Tidak selalu bertemu perpustakaan bagus.
Apakah kamu memiliki kawan-kawan yang suka berbicara tentang buku? Tidak. Ternyata saya egois. Saya terlalu punya banyak alasan untuk tidak mau mendiskusikan buku.
Membaca itu menyenangkan. Siaran MTV menjadi temanmu, kesunyian menjadi temanmu, dan Tuhan menyingkirkan para pengganggu dari kebiasaan membacamu, hanya jika kamu memiliki prioritas untuk menuruti keingintahuan.
Saya sering menerbitkan buku orang. Mengerti prosesnya, dari mulai editing, membuat cover, mengurus ISBN, lobi ke percetakan, sampai peluncuran, saya pernah jalani semua. Dari perspektif ini, selain berbincang-bincang dengan orang-orang di penerbitan buku, saya mengerti bagaimana menerjemahkan dan editing. Sama halnya, kalau kamu mengerti cara memasak, kamu akan mengerti bahan-bahan makanan yang sedang kamu nikmati. Kamu bisa mengubah kata “enak” dengan lebih banyak kalimat.
Dan pikiran terang dalam diri saya berkata, “Kamu tidak sendirian. Kamu bisa berubah.”.
Perubahan datang ketika internet semakin bagus. Datanglah Twitter, YouTube, Facebook, dalam kondisi belum sebagus sekarang.
Akhirnya, saya merevisi cara saya membaca buku.
Baca hanya buku-buku terbaik dan terbaru dalam format digital.
Asalkan kamu pintar mengelola waktu dan mau fokus. Saya tumbuh dari seorang ibu yang suka membaca dan menerapkan larangan membaca di jam-jam tertentu. Zaman di mana saya harus fokus dan menyendiri ketika membaca buku-buku berat, sudah lebih dari 23 tahun yang lalu. Sekarang, zaman sudah berubah. Saya tidak punya waktu bebas membaca sepenuhnya, saya melakukan akumulasi. Durasi 60 menit membaca adalah 10 menit sebanyak 6 kali. Saya bisa, karena semua buku yang saya baca berformat .epub, dalam Android. Saya membaca dengan Moon+ Reader. Saya bisa menambahkan highlight, menyimpan ringkasan, membuat anotasi, melakukan referensi-silang, dan “baca nanti”. Kalau perlu, saya pakai text to speech. Mambaca bukan saja lebih mudah, namun juga lebih mudah mengingat.
Kalau saya ringkas, begini. Pilih bacaan yang akan mengubah hidupmu. Inspeksi buku secara mendalam dengan deret pertanyaan di atas. Buat highlight, catat, tambahkan anotasi, dan buat skema. Pertanyakan lagi. Jelaskan secara visual. Pastikan kamu bisa sangat mudah membukanya kembali, ini sebabnya saya sarankan format digital.
Jika kamu mengubah pola negatif dan mempelajari “bagaimana” membaca buku, maka kamu bisa membaca dengan rutin dan mengingat apa yang telah kamu baca. [dm]