in

Arti “Kalimasada” dan “Turun Pitu Dadi Ratu”

Wejangan rahasia Ki Ageng Giring kepada Ki Ageng Pemanahan yang tersembunyi di balik pohon kelapa.

(Credit: aceka)

Pada awalnya, saya mencari arti “kalimasada” dalam cerita wayang.

Kebanyakan orang mengartikan “kalimasada”itu “kalimah syahadah”, terutama tradisi pewayangan yang membolehkan Islam menginklusi struktur pengetahuan Jawa (yang sudah ada sebelum Islam datang).

Penyimpangan dari Kalimahausada ke Kalimasada

Teks “kalimasada” di wayang, bersumber dari Kitab Mahabharata dan Pustakaraja. Asalnya dari “kalimahusada” sudah disebut di Mahabharata, di bagian “Salya Parwa”. Kalau di Kitab Mahabharata, ini bagian ke-9. Adegan yang dimaksudkan, terjadi ketika 1000 raksasa Salya (di Jawa ini disebut “chandrabirawa”) dimusnahkan dengan “kalimahausada” yang menembus tubuh Salya. Begitu Salya mati, 1000 raksasa hilang. “Kalimahausada” artinya Dewi Kali yang Maha Menyembuhkan. Kekuatan untuk mengalahkan ilusi dunia. Ini ajaran Weda. Dewi Kali dalam mitologi, berasal dari airmata Durga, memiliki 8 tangan, dan nama Kali dipakai sebagai salah satu distro Linux sampai sekarang. Salah kalau orang bilang “kalimasada” (di pewayangan dan kethoprak) artinya “kalimah syahadah” seperti milik tradisi Islam.

Kalau orang memberi makna (berdasarkan istilah), itu tidak masalah. Kalau sudah “penyimpangan” sejarah (ahistoris) apalagi sampai mengaku “ini milik saya”, itu sudah parah. Itu kan bukan milik Islam, kenapa diakui milik Islam?

Kalau dibaca sebagai metafora, atau diartikan demikian, silakan saja, namun secara historis itu mengada-ada.

“Sada” dalam Cerita Kethoprak, Lebih Rahasia

Yang menarik, justru yang terjadi pada cerita kethoprak. Saya dengar pertama kali dari Kethoprak Saptamandala versi kaset (sekarang bisa kita dengar di YouTube). Kalau di Kethoprak, ceritanya justru berbentuk “alegori”, di mana adegan Ki Ageng Pemanahan minum air degan (kelapa muda) itu menyimpan ajaran Rukun Iman dan Rukun Islam. Karena di sini yang menjadi ungkapan simbolis adalah “sada” (lidi yang diambil dari daun kelapa). Bukan “kalimasada”.

Spoiler: “sada” bukan “kalimasada”. Lebih dari itu. “Sada” adalah ringkasan dari Rukun Islam dan Rukun Iman. 

Dalam salah satu tradisi tutur, saya menemukan pemaknaan yang keren tentang kalimasada. Cerita ini saya dapatkan dari salah seorang kawan di Facebook yang tidak mau saya sebutkan namanya. Beliau mendapatkan cerita ini, turun-temurun, dari sumber cerita, tentang apa makna di balik “kalimasada”.

Saya senang, karena ternyata ada pembacaan bahwa “sada” bukan “kalimah syahadah”.

Ringkasnya begini.. Kata “sada” berasal dari “sada” (lidi) dari pohon kelapa, dari wejangan Ki Ageng Giring kepada Ki Ageng Pemanahan tentang rukun Islam, rukun iman, dan “turun pitu dadi ratu”.

Dalam babad dan kethoprak, diceritakan Ki Ageng Pemanahan meminum air “degan” (kelapa-muda) milik Ki Ageng Giring. Sebenarnya, kisah minum “degan” ini alegori.

Cerita sebenarnya, Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan memperluas dan memperdalam makna rukun Islam dan rukun iman, melalui metafora pohon kelapa.

Sunan Kalijaga sering mengajarkan “Yang Tersembunyi” dengan cara tersembunyi seperti ini, melalui seni. Murid dan penerus ajaran Sunan Kalijaga, antara lain: Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan.

Ki Ageng Giring juga menguraikan tentang ajaran rukun Islam, rukun iman, dan “turun pitu dadi ratu” dengan metafora pohon kelapa. Seluruh nama dalam bagian pohon kelapa, menjelaskan hal tersebut.

“Sada”, Ringkasan Ajaran Rukun Islam dan Rukun Iman

“Sada” (lidi) asalnya dari “blarak” (daun kelapa).

Ki Ageng Giring memberikan wejangan (mejang) kepada Ki Ageng Pemanahan, kemudian membuat tetenger nama-nama bagian pohon “klapa” (kelapa).

Di pohon kelapa ada “tataran” (panjatan) untuk menaiki pohonnya. Kata “tataran” digunakan hanya ada dalam bab ilmu, atau sering disebut juga “pawiyatan” (dalam mempelajari ilmu, yaitu ilmu agama). Di Semarang, ada nama jalan Pawiyatan Luhur, yang lokasinya dekat kompleks kampus, di Sampangan, tempat para mahasiswa mencari ilmu.

Di pohon kelapa ada “ja-nur” (daun-kelapa muda) dari “tejane nur“. “Teja” itu cahaya, “nur” juga cahaya. Kata “janur” ini tentang tata-cara memakai emas berkilau. Memakai emas, baik untuk perempuan, namun tidak bagi lelaki.

Janur dipakai untuk pepasren dalam perayaan, pengantin, dll. tempat orang bersama mengenakan emas atau pakaian berkilau. Emas dan perak tidak boleh dipakai untuk perkakas makan dalam rumah tangga, seperti piring, sendok, cangkir, dll. — tidak boleh.

Lalu ada “be-la-rak” (dahan pohon kelapa), ringkasan dari “belinge lali terus perak” dan ada “belarak garing” (belarak kering) dari ringkasan “belinge lali terus perak, digawe pring” (pring : bambu).

Ada “pasemon” (ajaran tersembunyi) jika ada “belarak garing” jatuh dari pohon, artinya “bejane mung dilarak” (keberuntungannya hanya ditarik), yaitu dibawa ke pawon (perapian) untuk bahan bakar. Ini gambaran bagi orang-orang yang melakukan dosa kemudian (kelak akan) dimasukkan ke api neraka jika perbuatannya buruk, tidak manfaat.

Perumpamaan ini diperkuat, “berlarak garing” sebelum dimasukkan api, “sada” (lidi) diambil untuk dijadikan sapu, alat membersihkan “latar” (halaman) dan ruang rumah, untuk membersihkan-diri dari dosa.

Sapu” berarti “dosane diapura” (dosanya diampuni).

Sa-da” sebenarnya ringkasan dari “sahadate dadi, shalate dadi, pasane dadi, shadaqahe dadi, kuwasa-sangune dadi.”.

Dadi” artinya “terjadi, terbangun, sempurna”. “Shadaqah“, maksudnya: zakat, sedangkan “kuwasa sangune” artinya “mencukupi perbekalannya”, tidak hanya uang, sebagai bekal berangkat naik haji.

Dalam wayang juga ada nama ksatrian “Kendali Sada” (tempatnya Resi Hanuman), artinya “kendali atas hawa nafsu). Di Bandungan, ada nama tempat “Kendali Sada“.

Jadi, “sada” itu terkait dengan rukun Islam.

Berkaitan juga dengan rukun iman.

Dari mana asalnya kelapa? Kelapa terjadinya dari bibit berbentuk seperti “ilat” (lidah) dari “iling-ilingen yen sholat” (ingatlah waktunya sholat), dari “ilat” menjadi “mancung” (ini tempat bunga kelapa) artinya “manteb olehe ngacung“, atau “yakin saat menunjukkan tangan”, artinya percaya pada Allah, sebagaimana gerakan telunjuk tangan ketika “tahiyyat” dalam shalat, saat membaca syahadah.

Setelah “mancung” muncul keluar “manggar“, artinya “mapan manggul ana arane” (bertempat di pundak tempat memanggul yang ada namanya), yaitu malaikat Munkar dan Nakir. “Manggar” juga dari “mapan ing langgar“. pada zaman itu, masjid masih sedikit, hutan sangat banyak, dan penduduk masih jarang.

Kemudian dari “manggar” jadilah “baluluk“, dari ringkasan “baguse lurunen, jaluken” (teladan Nabi, carilah dan mintalah). Ini terkait dengan iman kepada Nabi, untuk meneladani dan memiliki kebagusan akhlaq dengan meneladani Kanjeng Nabi.

Jika ada “baluluk” jatuh dari pohon kelapa, dipakai untuk kopyah (kethu, peci, penutup kepala), itu karena “baluluk” identik dengan anak muda. “Baluluk” menjadi “bluluk”, proses peringkasan kata ini disebut “tembung garba“, sama seperti kata “karasa” menjadi “krasa“.

“Baluluk” juga berarti “tibane luput, ndhungkluk” (jika jatuhnya meleset, orang menunduk). Jika ada “baluluk” jatuh, tidak mengenai kepala, orang di dekatnya akan menunduk. Berbeda kalau jatuhnya tepat mengenai kepala, dia akan merasa sakit lalu mendongak ke atas, mencari penyebabnya.

Anak muda jika merasa disalahkan, dia akan mendongak, berani menjawab. Jika dia merasa bersalah, dia menunduk.

Lalu dari “bluluk” jadinya “cengkir“, bentuknya kelapa-kecil berwarna kuning-muda. “Cengkir” bukan dari “kencenging pikir“, tetapi “cengkir” dari “cengkah-singkirana” (pilah dan buang). Ini terkait dengan ajaran iman kepada Kitab (al-Qur’an), Sunnah Nabi, sebagaimana zaman muhaditsin yang pernah mengkodifikasi hadits shahih. Selama kodifikasi, terjadi pemilahan: mana yang shahih, mana yang dhaif. Kata “cengkah” masih diuraikan lagi, berasal dari “incengen sing ning Mekkah” (intiplah yang ada di Makkah). Tidak mengherankan, kalau dalam cerita kuno tentang masjid yang dilubangi dindingnya, kemudian ketika diintip, mereka bisa melihat Ka’bah. Entah metafora atau sungguh-sungguh terjadi demikian, “incengen sing ning Mekkah” mendapatkan artinya di sini.

Dan “singkirana” dari “singgahan kitab kepara kuna ana” (khazanah kitab yang lebih kuno ada), sebagai pengingat bahwa jika mau mencari rujukan yang asli, masih ada. Ini tentang pentingnya sanad yang bersambung, tidak terputus, dan jika dirunut sampainya kembali ke Nabi.

Sedangkan terjadinya nama “degan” berkaitan dengan iman kepada terjadinya Hari Kiamat.

“Kiamat” dari “Qiyam” (Ar.) atau “bangkit”. Kata “degan” berasal dari “ngadeg ragane“, artinya: “berdiri badannya” saat Hari Kiamat. Manusia yang mati, menyatu dengan bumi, kelak dibangkitkan raganya menuju Padang Mahsyar.

Itu sebabnya orang Jawa memberi “pepeling” (pengingat) saat berziarah mereka membawa kelapa muda dan menyiramkan air kelapa muda ke kuburan. Ini adalah doa yang membutuhkan sarana berupa air kelapa muda (degan) sebagai pengingat Hari Kiamat. Dalam suatu riwayat, Bilal pernah menyiramkan air dari kendi di atas maqam seseorang. Nabi tidak melarang.

Setelah menjadi “degan“, baru kemudian ada “kalapa” (kelapa), artinya “kalahe mula pasrah“, artinya manusia berikhtiyar tetapi Gusti Allah yang menentukan. Ini merupakan ajaran tentang qadha’ dan qadar, tentang takdir. Kita kenal ini sebagai Rukun Islam terakhir.

tentang Air Degan dan “Turun Pitu Dadi Ratu”

Dalam cerita tutur, termasuk yang dikembangkan di kethoprak, Ki Ageng Pemanahan meminum air degan milik Ki Ageng Giring.

Itu cerita simbolis. Sekalipun sebagai adegan, sangat teatrikan dan dramatis. Keren sekali kalau yang main pintar.

Air kelapa muda itu “banyu legi” (air berasa manis), menjadi “nyu-rasa” atau “banyu rasa” (air yang berasa, manis). Kata “nyurasa” artinya “memaknai”, yaitu memaknai rukun islam dan rukun iman melalui “kelapa” yang diceritakan di atas. Atau dengan kata yang lebih mudah: ingatlah pesan di balik terjadinya air manis ini.

Kemudian dia mendapat gelar Ki Ageng Pemanahan. Gelar “pe-man-nah-an” ringkasan dari “pepeling iman ing manah antepana” (pengingat iman di hati, yakinilah).

Kemudian tentang arti “turun pitu dadi ratu” (tujuh turunan menjadi ratu), berkaitan dengan cara orang mengambil kelapa (diambil, lalu turun). Diartikan 7 turunan menjadi raja, tidak apa-apa, tetapi berkaitan dengan pemaknaan yang saya uraikan sejak awal, artinya tidak demikian.

Pohon kelapa baru bisa dituai jika sudah sempurna, memiliki 7 hal : 1. kopeng /gantilan; 2. sepet; 3. serat; 4. sempol; 5. bathok; 6. krambil; dan 7. banyu krambil.

Jadi, salah satu arti “ra-tu” merupakan ringkasan dari “ratengan pitutur“, disingkat “rat-tu“. Itu sebabnya, kata “ratu” memiliki banyak makna.

Kalau belum punya 7 hal tadi, belum sempurna. Belum kelapa. Berarti masih “degan” (kelapa muda), belum bisa diparut, dst.

Barang siapa yang menerima pengajaran dan melaksanakan pengajaran di balik metafora kelapa tadi, dia akan menjalani rukun Islam dan rukun iman. Itulah arti “turun pitu dadi ratu”.

Serat Babad Tanah Jawa memang banyak kontroversi historis, tetapi tetap asyik dibaca sebagai metafora.

Lebih baik membaca dengan alegori dan metafora, daripada mengaku budaya dan ajaran orang lain.Jawa itu hati dan budaya yang sudah ada jauh sebelum agama-agama lain datang. Itu sebabnya selalu bisa berdamai dengan ajaran apapun.

Para leluhur ulama zaman keraton kasultanan bijak dalam merangkai ajaran, dalam laku prihatin, menjalankan ketentraman rakyat. Mereka sering masuk perkampungan, menyamar. Dan di balik hal-hal biasa, seperti dalam cerita “air degan”, tersembunyi ajaran yang dirahasiakan, agar dapat tersebar dari hati ke hati, tanpa kekerasan.[dm]