SEMARANG (jatengtoday.com) – Dua jurnalis, Aris Mulyawan dan Abdul Arif, terpilih secara aklamasi dan disahkan menjadi Ketua dan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang periode 2021-2024. Keduanya meneruskan kepengurusan ketua dan sekretaris sebelumnya yang dijabat Edi Faisol dan Heri C Santoso.
Kepengurusan baru tersebut terpilih dalam Konferensi Tahunan (Konferta) AJI Kota Semarang bertema “Menjaga Independensi di Tengah Oligarki” yang diselenggarakan di kantor AJI Kota Semarang, Jalan Pindrikan Kidul, Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (28/3/2021).
Aris yang kesehariannya bekerja sebagai redaktur di Harian Suara Merdeka itu sempat menyatakan keberatan. Namun ia tak bisa beralasan ketika suara forum dalam Konferta tersebut mempercayakan perjuangan organisasi AJI Kota Semarang ke depan berada di tangannya.
“Kami minta agar anggota AJI Kota Semarang bersedia berjuang bersama. Tak hanya membebankan tanggung jawab kepada ketua,” kata Aris yang merupakan alumnus IAIN Salatiga.
Sementara Arif terpilih sebagai sekretaris karena dianggap mewakili generasi muda AJI Kota Semarang yang memiliki progresivitas dan gagasan segar. Arif sendiri saat ini bekerja di media lokal Ayo Semarang dan aktif di komunitas kartun Gold Pencil Indonesia.
Serah terima jabatan dilakukan oleh pengurus lama, Edi Faisol dan Heri C Santoso kepada ketua dan sekretaris terpilih. Konferta kali ini sengaja mengangkat tema sedikit lebih ekstrem, yakni menjaga independensi di tengah oligarki. Sebab, bagaimana pun itu merupakan kondisi atau realitas yang terjadi saat ini. Harapannya konferta kali ini mampu menghasilkan kebijakan yang lebih baik.
Sementara perwakilan dari AJI Indonesia, Bambang Muryanto, mengatakan jurnalisme di dunia dan Indonesia saat ini memang sedang menghadapi tantangan besar. “Ada sebuah survey di Amerika, bahwa kondisi pers di Amerika mengalami sebuah ujian tentang kepercayaan. Dari survey itu, kepercayaan publik bisa meningkat, tapi sangat kecil, yakni hanya 3 persen,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini juga menjadi potret media mainstream di Indonesia. Terlebih di masa pandemi ini.
Iklan, kata dia, memang sulit dan membuat media mainstream berjuang habis-habisan. “Bahkan pendapatan iklan media mainstream dalam satu bulan bisa dikalahkan oleh seorang influencer seperti Baim Wong misalnya. Pendapatannya jauh lebih besar daripada media mainstream. Padahal informasi yang diposting oleh influencer kadang-kadang bukan merupakan informasi yang berkualitas, bukan informasi publik yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Sementara media massa yang berusaha memberikan layanan informasi sebagai pemenuhan kebutuhan hak asasi manusia terseok-seok.
BACA JUGA: 127 Jurnalis Meninggal karena Corona
Dia mengakui, untuk menjaga kode etik dan independensi jurnalisme, menjadi tantangan berat. “Apakah kita semua mampu menghadapi gelombang ini? Saya sendiri tidak tahu. Tetapi setidaknya kita semua harus berusaha. Saya yakin ada banyak jalan agar tetap bisa menjaga kode etik,” tegasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto