in

Kamu Percaya Intuisi?

Intuisi datang dari pola berulang di pikiran, keteraturan yang tidak kita sadari, dan perasaan (emosional). Tidak bisa diandalkan untuk memprediksi masa depan. Setelah baca ini, anggapanmu tentang intuisi akan berubah.

Intuisi berasal dari pengulangan perilaku dan perasaan. Tidak bisa selalu diandalkan sebagai pengirim informasi yang -benar-. (Credit: Benjavisa)

Orang sering menghubungkan kejadian (terutama kejadian buruk) dengan firasat (di masa lampau, misalnya 3 hari yang lalu). Mereka bilang, “Seperti ada yang ngasih tahu saya, 3 hari yang lalu. Firasat saya mengatakan..”. Kejadian buruk datang, lalu dikaitkan dengan kekuatan intuisi, kesadaran yang berhubungan, membaca penanda yang ternyata sudah datang sebelumnya.

Intuisi kemudian diberi “kualitas mistis”. Ini semacam bisikan kebenaran, pemberitahuan atas apa yang akan terjadi, kalau perlu dianggap “tangan kebenaran” yang datang sendiri.

Intuisi itu firasat. Seperti ketika “merasakan” akan terjadi sesuatu yang buruk.Itu terjadi sebelum kita berpikir, seringnya, orang memisahkan intuisi dari pikiran. Para penganut intuisi menganggap, intuisi melampaui (lebih kuat dan lebih valid) daripada pikiran.

Apakah Kamu Percaya Intuisi?

Aneh sekali,.ketika kita buat keputusan, seperti, “Saya tidak jadi pergi..”, tanpa alasan rasional, hanya karena firasat mengatakan, “Jangan pergi..”. Tidak bisa menjelaskan. Lalu memberinya kualitas mistis sebagai “kebenaran”.

Apalagi ketika keputusan (berdasarkan intuisi tadi) mencegah hal-hal buruk, karena kita kaitkan dengan “kebenaran”, lalu berkata, “Saya sudah menduga, akan ada kejadian buruk. Untungnya, tadi saya nggak jadi pergi..”.

Singkatnya, orang sering memilih interpretasi yang paling sesuai tentang bagaimana hal-hal di sekitar mereka ino terjadi, naluri bertindak dikaitkan drngan indera keenan, ESP (extra-censory perception), dan kekuatan firasat.

Ketika mengikuti perkuliahan Filsafat Etika, saya diminta untuk menerima materi diktat kuliah, yang harus diingat ketika membuat makalah dan masuk di soal ujian semester, bahwa salah satu sumber pengetahuan manusia berasal dari intuisi.

Dalam perkuliahan filsafat agama, ada cerita tentang Hayy ibn Yaqdhan, karakter fiktif tentang anak yang dibuang di hutan lalu mengenal Tuhan, yang selalu diceritakan sebagai pengantar letika kami sampai pada topik “intuisi”. Aneh sekali, saya diminta untuk percaya pada “hasil” yang berasal dari cerita fiksi, yang saya ragukan status epistemik cerita itu.

Sebenarnya ini sama ketika saya belajar leadership dari Dick Grayson, karakter fiksi Marvel di serial Titans (terutama di Season 3), karena sama-sama belajar nilai kehidupan dari fiksi.

Belum lagi, banyak ayat-ayat yang dipakai untuk membenarkan pentingnya intuisi.

Sampai akhirnya saya tidak percaya terhadap kekuatan intuisi versi “mereka”.

Lingkungan di mana saya hidup, berisi orang-orang religius. Mereka berpuasa, berdoa bersama, saling-bantu ketika ada kerja, dan sangat percaya pada firasat.
Saya akan bercerita tentang intuisi dari perspektif yang berbeda.

Buku Power of Intuition. (Credit: Amazon)

Pola Berulang

Gary Klein dalam buku the Power of Intuituin meneliti bahwa intuisi adalah pola berulang pola dan prototipe yang telah kita pelajari dari waktu ke waktu. Kita terbiasa mengulang tindakan secara teratur yang mmemberi manfaat atau imbalan. Pola berulang dari tindakan ini mencapai bawah sadar dan menjadi respon otomatis, biasanya sebelum kita berpikir.

Pikiran manusia bekerja seperti mesin pembuat pola. Apapun yang kita lihat, kita rasakan, semua dirangkai menjadi pola. Apa yang baru, belum pernah, dikaitkan dengan pola yang ada di pikiran.

Tujuan “menemukan pola”: konservasi energi dan memprediksi apa yang akan terjadi.

Manusia tidak mau ribet sekaligus ingin bertahan-hidup. Manusia bertahan-hidup dengan cara seperti ini. Termasuk ketika menemukan “makna” dan “pengertian” sesuatu, semua itu untuk memprediksi apa yang akan terjadi.

Intuisi menjadi bagian dari mekanisme mengenal pola, bagi pikiran. Pengenalan pola membantu kita menilai situasi sebelum berpikir atau menganalisis situasi.

Ketika merasa ada “firasat” membisikkan sesuatu ke diri kita, cobalah bertanya:

  • Apakah ada pola berulang di sini?
  • Apakah saya sedang konservasi energi dan memprediksi.masa depan?
  • Apakah saya memilih menerima begitu saja atau akan saya pikirlan lebih lanjut?

Keteraturan

Daniel Kahneman, ekonom peraih Nobel, mengatakan bahwa kamu memiliki intuisi jika dunia cukup “teratur” dan jika ada aturan yang tak-disadari.

Kamu perlu memberikan feedback (umpan-balik) agar intuisi menjadi berharga di sistem otomatis yang terjadi dalam hidupmu.

Keteraturan dan aturan inilah, ketika dikenali, membuat orang mengira bahwa mereka punya intuisi. Mereka secara tak-sadar terserap dalam keteraturan.

3 Kondisi Terjadinya Intuisi (Versi Kahneman)

  1. Dunia biasa.
  2. Kesempatan untuk mempelajari.
  3. Umpan balik yang cepat.

Jika itu berulang, seperti kasus “tidak jadi pergi” dalam contoh saya, ada “peringatan untuk mengambil tindakan” (ini sebenarnya membuat keputusan) untuk bertindak lebih lanjut.

Intinya, kamu mau ambil keputusan apa, dan setelah ini mau melakukan apa. Kamu secara tak-sadar memasuki keteraturan dan aturan.

Percaya Diri (yang Berbahaya)

Ketika firasat datang, apalagi yang berulang, kita merasa yakin, berkekuatan, dan punya wawasan khusus, membentuk percaya-diri.

Yang perlu diingat, “percaya-diri” bukan berarti masalahmu hilang, bukan berarti kamu selalu benar. Percaya diri hanyalah percaya diri. Mendeteksi ketakutan, mempelajari masalah, dan menjalankan sistem untul selesaikan masalah, lebih efisien dan efektif, dibandingkan dengan percaya-diri.

Tim Feriss punya resep bernama “fear setting”. Atur ketakutan itu. Tahapan yang bisa kita lakukan: define, prevent, repair. Tentukan, cegah, dan perbaiki.

  1. Tentukan #skenarioterburuk (worst scenario) yang bisa terjadi akibat keputusanmu.
  2. Tuliskan #tindakan apa yang bisa kamu lakukan untuk #mencegah hal buruk itu.
  3. Kemudian #perbaiki situasi jika hal buruk itu tetapi terjadi.

Baca: 3 Langkah Menang Melawan Rasa Takutmu

Kebanyakan orang melupakan intuisi yang salah dan terlalu mempromosikan intuisi yang benar.

Contoh yang sering kita temui, ketika ada seorang perempuan mencurigai pacarnya yang sekarang, termasuk 5 orang mantannya, menulis tweet begini, “Sudah kuduga, pasti ada yang nggak beres. Dasar cowok. Mau menutupi kelakuan buruk, tetap saja akan terlihat. Intuisi perempuan nggak pernah salah!“.

Dia lupa berapa kali instingnya salah, terutama ketika memilih cowok ini. Ke mana insting dia yang sensitif ketika dulu menerima cowok ini sebagai kekasihnya?

Ini disebut “survivor bias”, yaitu bias dalam berpikir yang hanya melihat yang berhasil namun melupakan yang gagal (yang jumlahnya lebih banyak). Sama persis dengan ungkapan orang, yang menganggap, “Orang dari suku X lebih cerdas”.

Baca: 5 Sebab Kamu Tidak Percaya Diri

Mitos, cerita, dan literatur sering membenarkan insting seseorang, terutama jika itu cocok dengan cara orang tidak terlalu lama berpikir dan dalam mengambil keputusan.

Percaya kepada insting, sering bermasalah ketika itu berupa bias berpikir. Terutama sekali, “survivorship bias” dan belum memvalidasi data.

Gagal Mencari Penyebab Peristiwa Mendatang Karena..

Peristiwa A mendahului Peristiwa B, bukan berarti Peristiwa A merupakan sebab (cause) dari Peristiwa B.

Suatu peristiwa terbentuk dari ribuan faktor (atau lebih). Misalnya, saya makan hamburger. Kawan saya, berdasarkan insting, mengatakan, “Jangan makan hamburger di sini, instingku mengatakan kamu akan sakit -setelah- makan hamburger di sini.”. Sekitar 2 jam kemudian, saya sakit.

Apakah saya sakit (Peristiwa B) ini terjadi karena saya makan hamburger (Peristiwa A)? Belum tentu.

Peristiwa saya makan hamburger ini terbentuk dari proses penciptaan sapi (daging hamburger), sayuran, berdirinya gedung tempat jual hamburger, pembuatan resep, pemilihan pegawai, pembuatan jalan menuju tempat ini, dll. Ada ribuan faktor. Termasuk sakit saya, bisa saja berasal dari racun yang sudah tertanam dalam tubuh saya sejak 6 bulan yang lalu.

Kita sering mengacaukan “apa yang mendahului” Peristiwa B sebagai “sebab terjadinya” Peristiwa B.

“Intusi” sebagai Promosi

“Intuisi adalah hal yang sangat kuat, lebih kuat dari intelek.” kata Steve Jobs. Kata “intuisi”, “imajinasi”, “mendobrak status quo”, dll. sering menjadi kata-kata promosi yang membuat orang percaya tentang pentingnya intuisi sebagai bagian utama dari kesuksesan bisnis, apalagi jika Steve Jobs yang berbicara, meskipun itu bukan sepenuhnya faktor utama. “Intuisi” menjadi iklan kesuksesan, membuat orang terlihat unik, memaklumi kegagalan mereka, dan kekuatan super untuk “berbeda” dari orang lain.

Emosi

Saya meneliti tentang “emosi” (emotion) sebagai faktor kuat ketika seseorang mengambil keputusan. Terutama, keputusan kecil.

Kita lebih sering bersikap “emosional” dalam menentukan pilihan. Bukan rasional.

Emosi adalah tentang apa yang kita pedulikan, kita anggap penting, dan yang “pertama” sekaligus “terakhir” dalam menginformasikan data sebelum mengambil keputusan.

Baca: 6 Pengaruh Tersembunyi yang Membentuk Perilaku Kita

Intuisi bukan intelek. Intuisi itu emosional, apa yang kita rasakan. Perasaan lebih sering menginformasikan tindakan. Itulah sebabnya, orang sering “ditipu” intuisi, sebagai sesuatu yang mendalam, “bertindak atas dorongan hatu”, “dapat firasat”, dan dengan cepat kita terima itu.

Hubungan dan Pembuatan Kesimpulan

Pengetahuan terjadi karena kita merasakan “hubungan” antara informasi yang sudah ada, sudah terbentuk, di pikiran kita, dengan apa yang sedang kita hadapi. Kita mengambil kesimpulan, melakukan inferensi, berdasarkan hubungan yang terbentuk itu. Cara orang, berlainan.

Dalam suatu pelatihan, saya mengajarkan bagaimana mendeteksi keaslian foto.
Saya berikan beberapa sample foto yang membingungkan para peserta.

Foto 1, bergambar para pemadam kebakaran sedang selfie di depan rumah yang terbakar separuh. Para peserta, sebagian besar menganggap, “Foto itu tidak asli, hasil editing..”.

Padahal itu asli.

Mereka tidak tahu, bahwa di Michigan, dalam training damkar (pemadam kebakaran), negara mencari rumah yang sudah tidak terpakai dan tanpa penghuni, yang sudah menjadi milik negara, sebagai properti pelatihan damkar. Untuk level awal, mereka diminta memadamkan dengan cepat, ketika api masih kecil. Level berikutnya, rumah dibakar sebagian, baru mereka diminta memadamkan api. Pada saat seperti itulah mereka sengaja selfie bersama.

Foto 2, ada hulu ledak nuklir Russia di antara orang-orang Amerika.

Fotonya modern, situasi zaman sekarang. Sebagian peserta masih berkata, “Foto itu tidak asli karena orang-orang Amerika di sekitar hulu ledak nuklir milik Russia.”.
Foto itu asli.

Ada berita NPR tentang Amerika memakai energi listrik bertenaga nuklir dari hulu ledak nuklir Russia.

Mereka gagal mengidentifikasi foto itu karena mengandalkan insting. Waktu itu, mereka belum tahu bagaimana mengidentifikasi keaslian foto. Setelah pelatihan, mereka baru mengerti caranya, dan menjadi kurang suka menebak. Mereka memastikan sesuatu yang bisa dipastikan, dengan sistem yang lebih bisa dipercaya. Bukan intuisi.

Ragu, Takut, dan Sistem Verifikasi

“Fear Settings” (pengaturan rasa takut) dari Tim Ferriss lebih “work” ketika saya menghadapi masalah. “Takut” menjadi jalan menuju perbaikan dan antisipasi (tindakan di masa mendatang).

Beberapa kawan saya, yang berhasil dalam pekerjaan, tidak terlalu mengandalkan intuisi. Sebaliknya, mereka orang yang suka meneliti, meragukan asumsi awal, dan tahu bagaimana mengatur “ketakutan” menuju jalan pemecahan masalah.

Ketika ada dugaan korupsi di dalam suatu kantor dan diminta melakukan forensik digital, saya tidak mau menebak. Lebih baik pasang interseptor dan perekam komunikasi di jaringan, dan ini tidak melanggar hukum ketika saya memakai OSINT, untuk menentukan siapa yang melakukan komunikasi dengan perusahaan lawan.

Itu lebih “work” daripada menebak, menduga, atau menggunakan perasaan.

Yang perlu disadari, cara otak kita menciptakan “hubungan” dan “interferensi” ini sering tidak dikendalikan pikiran, melainkan dikendalikan emosi dan perasaan. Tidak semua orang memiliki “model mental” dan “strategi berpikir” ketika berhadapan dengan masalah.

Bisakah Percaya kepada Intuisi Kita Andalkan?

Benarkah kita bisa selalu bisa mengandalkan intuisi? Apakah intuisi ini selalu mengarah kepada tujuan yang kita inginkan?

Pemikir kreatif di bidang seni, bisnis, pemimpin, berlatih mempercayai insting mereka. Proses seumur hidup untuk terlatih dalam mendengarkan “suara batin”, bertindak dengan rasa, dan tidak selalu mengandalkan pikiran rasional.

Sebaliknya, percaya kepada intuisi dan naluri, bisa membawa kita ke jalan gelap, tidak produktif, terutama jika tidak menyadari bahwa intuisi sering berwujud emosi. Intuisi terlalu melekat dengan perasaan, tidak perlu energi berpikir, dan seolah-olah sudah menjadi senjata (sekaligus perisai) dalam bertindak dan membuat keputusan. [dm]