JAKARTA (jatengtoday.com) – Tragedi ritual di Pantai Payangan, Kabupaten Jember, Jawa Timur pada Minggu (13/2) dini hari merenggut 11 nyawa. Bagaimana kondisi perairan dan ombak saat peristiwa nahas itu terjadi? Berikut ini analisisnya.
Rombongan Kelompok Tunggal Jati Nusantara berjumlah 24 orang, termasuk seorang sopir minibus Elf dengan nomor polisi DK7526VF, dua lansia dan satu balita yang berada di sekitar area parkir saat kejadian.
Baca Juga: Ritual Berujung Maut, 11 Orang Tewas Digulung Ombak Pantai Payangan
Ombak besar menerjang saat 20 orang dari kelompok tersebut sedang bergandengan tangan melakukan kegiatan ritual yang sudah berlangsung selama satu jam di tepi Pantai Payangan.
Dari keterangan Komandan Tim Basarnas Jember Jatmika, diketahui 11 korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di sekitar perairan Pantai Payangan, baik dalam kondisi mengambang atau berada di pantai. Sejumlah korban meninggal ditemukan tidak jauh dari lokasi mereka terseret arus laut pantai selatan.
Kondisi Perairan dan Pasang Surut
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan pada Badan Riset dan SDM, Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo S Pranowo mencoba melakukan analisis kondisi gelombang dan pasang surut di Pantai Payangan, saat kejadian nahas tersebut.
Kondisi elevasi muka laut Pantai Payangan menunjukkan perairan pada Minggu (13/2) dini hari, pukul 00.00 WIB, hampir mendekati air surut, di mana posisi air surut diduga akan terjadi pada pukul 02.00 WIB. Secara teoritis, ketika air laut menuju surut, maka arus akan bergerak menjauhi pantai menuju ke lepas pantai.
Jika menilik kondisi pada saat mendekati surut tersebut, ia mengatakan terlihat elevasi muka laut diduga menjadi lebih maju ke arah laut, akibat air turun atau surut 0,4 hingga 0,6 meter dari garis pantai pada kondisi normal. Sehingga pada saat 20 orang melakukan prosesi ritual antara pukul 00.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB, diduga mereka tidak sadar berdiri pada area surutan air yang kemungkinan besar saat kondisi normal adalah tempat gelombang pecah.
Pada kondisi siang hari, area gelombang pecah akan dapat mudah dikenali, yakni dari adanya banyak buih-buih putih yang dihasilkan setelah pecahnya gelombang menghantam lereng pantai. Namun ketika malam hari, dengan pencahayaan yang sangat terbatas, kemungkinan buih-buih putih tidak bisa mudah dilihat.
Angin dan Gelombang
Bagaimana peserta ritual yang berdiri di area gelombang pecah, namun dalam kondisi surut tersebut bisa terbawa arus?
Widodo yang juga merupakan anggota Advisory Board Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center itu menjelaskan kemungkinannya berdasarkan data model global sebaran angin pada Sabtu (12/2), pukul 21.00 WIB hingga Minggu dini hari, pukul 00.00 WIB.
Saat itu angin bertiup dari arah utara atau timur laut menuju selatan atau barat laut, sehingga sepanjang waktu tersebut tidak ada gelombang laut yang signifikan yang menjalar dari arah laut menuju ke pantai. Tiupan angin dari arah utara atau timur laut tersebut justru menambah gaya seret terhadap muka laut yang sedang dalam proses menuju surut, sehingga arus yang dibangkitkan oleh kedua gaya tersebut diduga meningkatkan kecepatan arus yang meninggalkan Pantai Payangan.
Namun, ia mengatakan, pada pukul 01.00 WIB, diduga terjadi perubahan arah angin datang. Angin datang bertiup dari arah barat menuju ke Pantai Payangan.
Angin tersebut membangkitkan gelombang signifikan di laut atau lepas pantai hingga sekitar dua meter, lalu menjalar dengan sangat cepat menuju Pantai Payangan, kemudian tinggi gelombang diprediksi menjadi sekitar 1,8 meter ketika tiba-tiba menghantam para peserta yang sedang khusyuk melakukan ritual di area surutan pantai.
Sebagian peserta kemudian diduga terseret dengan cepat ke arah laut, menjauhi pantai oleh arus sisa gaya gelombang. Namun demikian, Widodo tidak menyebutkan secara eksplisit sebagai Rip Current karena biasanya itu terjadi justru saat kondisi laut tenang, namun arusnya dapat menyedot kaki.
Terkait dengan kasus di Payangan, ia belum berani memastikan apakah betul sesuai dengan kriteria Rip Current.
Kondisi Geografis
Letak geografis Pantai Payangan, menurut dia, berbeda dengan Pantai Parangtritis di Daerah Istimewa Yogyakarta atau Karangbolong di Kebumen, Jawa Tengah, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia (menghadap selatan). Sementara Pantai Payangan di Jember, Jawa Timur, menghadap ke barat.
Sehingga fetch atau area pembangkitan gelombang laut oleh gaya angin sedikit berbeda. Fetch di Parangtritis jauh lebih luas dan lepas ketimbang fetch untuk Payangan, lanjutnya.
Ia mengatakan kecepatan angin saat kejadian diperkirakan mencapai 8 hingga 9 kilometer (km) per jam. Jika dihitung secara manual, memang belum representatif, karena untuk menghasilkan tinggi gelombang antara 1,5 meter hingga dua meter diperlukan kecepatan angin sekitar 20 sampai dengan 25 km per jam.
Baca Juga: Polda Jatim Selidiki Polisi Ikut Ritual Maut di Pantai Payangan
Sehingga, menurut Widodo, kemungkinan ada faktor lain, tidak hanya adanya gelombang akibat angin (wind waves) yang menjalar menuju Pantai Payangan, namun mungkin juga ada kopling dari gelombang alun (swell), sehingga muka gelombang menjadi lebih tinggi.
Untuk memverifikasi hal tersebut, maka ia mengatakan diperlukan investasi waktu dan sumber daya untuk melakukan riset.
“Sebagaimana kita ketahui, tidak ada alat sensor pengukuran pasang surut atau gelombang apapun yang dipasang di Pantai Payangan. Jadi mungkin musibah tersebut bisa dijadikan lesson learned dan momen untuk melakukan riset terapan di lokasi yang lokal dan yang jelas sangat dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Widodo.
Kecepatan Angin
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat tinggi gelombang laut saat terjadi peristiwa ritual maut di Pantai Payangan Jember, Jawa Timur pada Minggu (13/2) mencapai 2,5 meter dengan kecepatan angin 5-15 knot atau sekitar 9 km – 27 km per jam.
“Pada saat kejadian, pantauan kami untuk informasi tinggi gelombang di wilayah tersebut mencapai 2,5 meter dengan kecepatan angin berkisar 5 – 15 knot,” kata Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo, Selasa (15/2/2022).
Eko menjelaskan kondisi saat ritual berlangsung angin tidak begitu kencang, namun karena dilakukan dini hari pandangan mata berkurang, sehingga kurang sensitif melihat kondisi sekitar.
Patut diwaspadai kondisi Pantai Selatan Jawa memiliki karakteristik garis pantai yang curam. Artinya, pantai hanya beberapa meter kemudian langsung curam ke dalam.
Batas pantai dangkal dan curam, ada kelihatan pecah ombak hingga sampai mendekati lokasi pecah ombak.
Terseret ombak dapat disebabkan oleh adanya rip current atau arus kuat yang bergerak menjauh dari pantai hingga dapat menyeret suatu objek ke laut.
Kecepatannya bervariasi, tergantung pada kondisi gelombang, pasang surut dan bentuk pantai tentunya sangat berbahaya bagi pengunjung.
Penyebabnya, karena adanya pertemuan ombak yang sejajar dengan garis pantai, sehingga mengakibatkan terjadinya arus balik dengan kecepatan tinggi.
Agar terhindar dari musibah tersebut, taati larangan atau aturan yang ada di pantai. Apabila terseret rip current, jangan melewati arus, berenang keluar dari arah arus dan usahakan tetap di permukaan air. (ant)