SEMARANG (jatengtoday.com) – Fenomena banjir masih menjadi momok di Kota Semarang. Hujan lebat disertai angin kencang yang mengguyur sejak Jumat (30/12/2022) hingga Sabtu (31/12/2022), mengakibatkan kota yang memiliki tagline Semarang Hebat ini kembali dirundung murung.
Bagaimana tidak, nyaris merata di berbagai wilayah Kota Lumpia ini terendam banjir. Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang mencatat sedikitnya ada 30 titik lokasi banjir dengan ketinggian beragam. Alih-alih pesta tahun baru, penghuni kota ini berjibaku dengan banjir.
Paling parah terjadi di Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan. Terutama di wilayah RT 11 RW 2 Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan Semarang. Situasi banjir sempat dilaporkan secara live oleh seorang petugas Bhabinkamtibmas Polsek Ngaliyan Bripka Adi Sudarmanto melalui akun instagram @polrestabes_semarang_official, Sabtu, 31 Desember 2022 pukul 08.42 WIB.
“Ketinggian air kurang lebih satu meter, atau seleher orang dewasa,” sebutnya dalam sebuah unggahan video.
Kasie Darurat BPBD Kota Semarang, Adhy Yulianto menyebut tidak hanya banjir, hujan deras disertai angin kencang juga menyebabkan 19 titik lokasi tanah longsor di Kota Semarang. Belasan rumah dilaporkan roboh dan 9 titik tanggul jebol di Kawasan Pantai Marina.
“Kami telah melakukan berbagai upaya penanganan. Di antaranya mendirikan dapur umum di Balai Kota Semarang, dan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk penutupan tanggul jebol,” katanya.
Titik banjir menyebar sedikitnya di 30 titik, di antaranya SPBU Randugarut, Mangkang Wetan, Puri Anjasmoro, Terowongan Tol Kaligawe, sekitar Sam Poo Kong, sekitar RSI Sultan Agung, Tlogosari, Muktiharjo, Tawangasari, Museum Bubakan, Kota Lama, Simpang Lima, Pasar Johar, Jalan Kakap, Krajan, Jolotundo, Jalan MT Haryono, Jalan Pedurungan Kidul, Pedurungan Tengah, Sidorejo Gayamsari, Majapahit dan lain-lain.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga memantau titik-titik banjir di Kota Semarang, pada Sabtu (31/12/2022). Dari Jalan Gajah Raya, air menggenang hingga sepinggang orang dewasa. Ganjar mengecek kondisi pompa di Rumah Pompa Sawah Besar dan Waru.
Dia mengaku menerima laporan dari sejumlah kepala daerah yang wilayahnya dilanda banjir. Antara lain Kota Semarang, Pekalongan, Pemalang, dan Pati. “Masyarakat kita minta untuk siaga, karena kondisi ini diperkirakan oleh BMKG sampai tanggal 3 Januari. Sehingga kita setiap hari harus siaga penuh. BPBD beserta relawan, saya minta untuk menyiapkan kondisi-kondisi kedaruratan, termasuk logistik, peralatan rescue, termasuk titik-titik yang diperlukan evakuasi,” ujarnya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPBD Kota Semarang, Iswar Aminudin mengatakan banjir yang melanda Kota Semarang karena badan sungai tidak mampu lagi menampung air dari wilayah Semarang dataran tinggi.
“Hujan dengan intensitas tinggi melanda Kota Semarang sejak sejak Jumat (30/12/2022). Hal itu mengakibatkan volume air dari kawasan Semarang bagian atas tinggi,” katanya.
Butuh Sungai Buatan
Pakar Tata Ruang Kota dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Bambang Setyoko mengatakan, cuaca ekstrem yang intensitasnya melebihi dari rata-rata ini sebetulnya telah diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan ini.
“Sehingga ada kota-kota yang sejak awal melakukan persiapan bila suatu saat terjadi cuaca ekstrem,” katanya.
Tapi dari sisi yang lain, kata Bambang, fenomena banjir memang akibat dari kesalahan manusia dalam mengatur alamnya. Cuaca ekstrem seperti ini jika jumlah penduduk hanya 100 ribu sebagaimana zaman Belanda dulu, ia yakin Kota Semarang tidak bakal banjir.
“Sebab, Gombel, Banyumanik, Gunungpati, belum banyak bangunan. Sehingga airnya bisa masuk ke dalam tanah,” katanya.
Tetapi kondisi sekarang, lanjut dia, penduduk Kota Semarang hampir 2 jutaan orang. Maka tanahnya banyak yang tertutup bangunan. Terlebih, penutupan tanah oleh bangunan tidak dibarengi dengan sistem tata kelola air untuk menuju ke laut secara baik.
“Secara gravitasi, air mencari tanah terendah. Saluran-saluran air kalau kita lihat sekarang ini kualitasnya juga kurang baik,” katanya.
Maka tidak heran, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur meluap. Dahulu, dua sungai Banjir Kanal ini dirancang oleh Belanda pada tahun 1900-an dengan perbandingan jumlah penduduk waktu itu.
“Sedangkan dalam perkembangannya—dengan pertumbuhan penduduk hingga sekarang ini—tidak dibarengi dengan dibuatnya Banjir Kanal yang lain,” katanya.
Memang, lanjut Bambang, curah hujan kali ini lebih tinggi dari rata-rata. Tapi kualitas saluran air di Kota Semarang ini masih kurang. “Bahkan kali ini, di Kota Semarang mulai dari Jalan Majapahit (wilayah timur) hingga Mangkang (wilayah barat) banjir semua,” katanya.
Oleh karena itu, masih kata Bambang, seharusnya ada treatment mengenai sistem pengaturan dan penghitungan debit air yang meluncur dari hulu ke hilir.
“Tidak hanya diukur dengan rata-rata normal. Tapi juga harus mencakup di atas rata-rata normal, sehingga ketika ada kejadian yang sifatnya insidentil seperti cuaca ekstrem seperti ini bisa teratasi. Yang terjadi sekarang ini semua gelagapan,” katanya.
Gejala cuaca ekstrem hingga krisis iklim bisa diprediksi sebelumnya. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan TNI Angkatan Udara (AU) melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Pesawat diterbangkan untuk menyemai garam di langit Jakarta dan Jawa Barat.
“Upaya modifikasi cuaca dengan menebar garam di atas Kota Jakarta ini supaya tidak terjadi banjir berlebihan,” katanya.
Terlepas dari itu, sejauh ini Pemkot Semarang belum sepenuhnya memikirkan penanganan yang bersifat jangka panjang. Masalah land subsidence (penurunan muka tanah), hilangnya wilayah resapan untuk alihfungsi menjadi perumahan, belum mendapat penanganan secara serius.
“Kita belum memikirkan bagaimana Kota Semarang agar membuat sungai tambahan yang didesain untuk membantu mengalirkan air dari wilayah Hulu ke Hilir. Sehingga bisa mengurangi beban Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat yang saat ini telah overload,” cetusnya.
Penanganan banjir di Kota Semarang sejauh ini, menurut dia, masih sebatas penyelesaian masalah yang bersifat jangka pendek. Normalisasi sungai pun sejauh ini baru terkonsentrasi di wilayah hilir. Sedangkan wilayah hulu selama ini belum tersentuh.
“Ketika terjadi banjir menyediakan pompa, pembersihan drainase, polder dan seterusnya. Sedangkan perencanaan jangka panjang secara menyeluruh untuk Kota Semarang belum dilakukan. Mengapa tidak pernah terpikirkan membangun Banjir Kanal Baru?” katanya.
Memang butuh pemikiran besar sekaligus biaya besar untuk menyelamatkan kota dalam kapasitas yang lebih besar. “Pemekaran wilayah dan pertumbuhan penduduk selama ini tidak diimbangi dengan penataan sungai secara serius. Bisa dipastikan suatu saat ketika terjadi cuaca ekstrem lagi ya banjir lagi,” katanya.
Meski demikian, penanganan darurat saat banjir dengan menggunakan sistem pompa memang diperlukan. “Kalau dikaji, di Simpang Lima—dalam waktu yang relatif cepat—banjir bisa surut. Surutnya banjir di Simpang Lima apakah air mengalir secara natural menuju ke laut? Pasti tidak. Itu dibantu pompa,” ujarnya. (*)