in

Alasan Pemkot Semarang Ajukan Kasasi Kasus Sengketa Lahan Bubakan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Meski kalah di tingkat banding di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Pemkot Semarang bersikukuh terus berupaya ‘merebut’ tanah dan bangunan Ruko Bubakan di kompleks Bubakan Baru, Kelurahan Purwodinatan, Kota Semarang.

Kepala Bagian (Kabag ) Hukum Setda Kota Semarang Satrio Imam Poetranto membenarkan, bahwa Pemkot telah mendaftarkan Kasasi terkait sengketa lahan Bubakan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

“Saat ini, kami sudah menyatakan Kasasi. Kami akan tetap berusaha bahwa tanah dan bangunan di Bubakan masuk dalam aset Pemkot Semarang. Kami sudah mendaftarkan Kasasi di Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (28/7/2020) dengan didampingi pengacara negara, selaku kuasa hukum Pemkot Semarang,” kata Satrio, Kamis (30/7/2020).

Pihaknya mengaku masih terus berupaya secara hukum. Satrio juga optimistis tanah dan bangunan Ruko Bubakan tersebut milik Pemkot Semarang, diperoleh dengan kerjasama dengan pihak ketiga. Bahkan andai saja di tingkat Kasasi kalah, Pemkot Semarang tetap akan tetap berupaya secara hukum di tingkat yang lebih tinggi.

“Kami akan berupaya terus. Aset negara ini harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Kami tetap upayakan karena kalau aset ini kalah, kerugiannya sangat luar biasa. Itu merupakan kerugian negara juga,” katanya.

Dia menjelaskan, tanah bangunan dan ruko Bubakan adalah aset yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga. “Seiring dengan waktu, aset yang dikerjasamakan itu telah habis. Tapi ternyata Pemkot Semarang tidak bisa mengambil-alih aset tanah dan bangunan yang ada. Aset ini sudah tercatat di daftar inventarisasi aset Pemkot Semarang. Sehingga akibatnya menimbulkan gugatan dari penggugat atau penghuni ruko kepada Pemkot Semarang,” terangnya.

Lebih lanjut, Satrio menjelaskan, pada proses pengadilan di tingkat pertama, Pemkot Semarang dinyatakan kalah. Disebutkan adanya klausul bahwa Pemkot Semarang mematikan hak pengelolaan (HPL) yang dimiliki.

“Padahal Pemkot Semarang tidak pernah melakukan usulan permohonan untuk mematikan HPL. Sehingga di pengadilan tingkat pertama kami tidak beruntung (kalah). Kemudian kami mengajukan banding di awal Februari 2020, kami menggunakan jaksa pengacara negara. Tetapi hasil dari putusan yang kami ambil sekitar seminggu lalu, Pemkot Semarang dinyatakan belum beruntung (kalah). Pihak penggugat dinyatakan menang,” katanya.

Mengenai kerja sama dengan pihak ketiga tersebut, lanjut Satrio, Pemkot Semarang mendasarkan pada Permendagri Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyertaan modal dan telah memenuhi tahapan-tahapannya. “Di antaranya, ada persetujuan dari DPRD dan Kemendagri. Sebelum pelaksanaan perjanjian dengan pihak ketiga, kami sudah melakukan persetujuan DPRD dan Kemendagri,” beber dia.

Ditanya apakah memiliki bukti baru yang memperkuat kepemilikan Pemkot Semarang, sehingga melanjutkan di tingkat Kasasi? Satrio mengaku tidak ada bukti baru. “Bukti baru memang tidak ada. Tapi dalam memori Kasasi, kami akan menguatkan argumentasi, bahwa proses mematikan HPL itu bagaimana, karena Pemkot Semarang tidak pernah meminta atau berupaya mematikan HGB-HPL. Dan proses inilah yang nampaknya dipakai majelis hakim untuk memutus perkara ini. Kami masih mencoba mendalami mengenai proses mematikan HPL itu bagaimana. Kemudian akan melihat lagi data di Badan Pertanahan Nasional (BPN), apakah benar-benar atas nama Pemkot Semarang atau sudah beralih,” terangnya.

Jika optimis dan meyakini bahwa lahan Ruko Bubakan tersebut milik Pemkot Semarang, mengapa sejak tahap pengadilan tingkat pertama Pemkot Semarang kalah?

“Pertimbangan hakim nampaknya menyatakan bahwa para penggugat merupakan pemilik yang sah atas HGB yang dimiliki. Sehingga dalam proses mendapatkan HGB ini sesuai dengan regulasi yang ada, maka mereka dianggap sah. Kemudian, yang menguatkan dari sana adalah pembatalan dan pemblokiran atas perpanjangan HGB dan sudah ada putusan dari BPN, bahwa HGB yang sudah diperpanjang itu dibatalkan dan yang sudah habis kami blokir. Tidak dilakukan perpanjangan. Itu sudah kami sampaikan ke BPN,” jelasnya.

Namun dalam persetujuan BPN, lanjut dia, ada konsideran (dasar pertimbangan) yang menyebutkan bahwa HPL Pemkot Semarang sebagian dimatikan dan diberikan kepada pihak ketiga. “Itulah yang akan dijadikan pihak penggugat melawan pemerintah. Tapi di satu sisi, kami tidak pernah melakukan permohonan untuk mematikan HPL. Kami masih selidiki sebagaimana disebut ‘sebagian dimatikan’ itu prosesnya bagaimana? Regulasi yang memayungi apa? Masih kami cari informasi,” katanya.

Tanah Negara Milik Negara itu Salah

Praktisi Pertanahan Hasyim Mustofa menilai bahwa seringkali pemerintah salah menerjemahkan pengertian “tanah negara”. “Pengertian tanah negara milik negara itu salah. Negara tidak pernah mempunyai tanah. Negara atau pemerintah hanya memproses dan mencatat. Jadi bukan memiliki aset. Aset bisa didapatkan dari membeli, ruilslag (tukar guling), penetapan pengadilan atau wakaf dan hibah. Selain itu tidak bisa. Undang-Undang Pertanahan jelas kok,” ungkapnya.

Seringkali pemerintah bersengketa dengan warga mengenai kepemilikan tanah. Hal itu akibat tidak memahami UU Pertanahan. “Tanah sebenarnya tidak pernah bermasalah. Yang bermasalah adalah manusianya. Saya tidak setuju kalau masalah tanah hanya ditelan mentah, bahwa setiap tanah adalah perdata, tidak. Kalau hanya dikaitkan dengan perdata, masyarakat bawah tidak akan pernah bisa menang,” katanya.

Menurut dia, permasalahan terkait tanah ini seharusnya disikapi oleh pemerintah sebagaimana menyikapi Kartu Tanda Penduduk (KTP).  “Aturannya, usia sekian harus membuat KTP, begitupun tanah, mestinya juga harus seperti itu. RT/RW harus mendata, tanah yang ditempati warga ini belum bersertifikat, maka pemerintah melalui tangan panjang BPN harus mendata. Jangan sampai sudah ditempati kemudian muncul sertifikat milik orang lain,” katanya.

Dalam konteks kasus sengkata Bubakan, Hasyim menilai, dasar awal yang harus dilihat adalah adanya transaksi jual beli. “Pertama, yang namanya transaksi jual beli dilindungi Undang-Undang, karena pembeli beritikad baik. Kedua, transaksional ini sudah lebih dari 20 tahun. Selama 20 tahun lebih itu pemiliknya merawat tanah dan bangunan tersebut. Pemilik juga pernah masuk berkaitan dengan pinjaman. Berarti, surat-surat sertifikat itu dinyatakan sah. Transaksional yang sah. Tetapi sungguh tragis apabila tiba-tiba muncul HPL yang diklaim milik Pemkot Semarang,” kata dia.

Hasyim menjelaskan, HPL itu bukan sebagai bukti kepemilikan. Bukti kepemilikan adalah HM, HGB, HG, kalau HPL adalah Hak Pengelolaan.

“Sampai sekarang pun dikelola oleh Pemkot Semarang karena ada retribusi, pajak, dan seterusnya. Kalau saya baca, HPL (Pemkot Semarang) sebagian pernah dimatikan. Berarti kalau sudah dimatikan, tentunya tidak bisa hidup lagi. Apalagi warga sudah mempunyai SK permohonan hak baru yang sudah dikeluarkan. Sebelum masa habis, warga sudah mengurus. Seharusnya, kalau seperti itu di BPN adalah perpanjangan, bukan permohonan hak. Perpanjangan adalah konstatering, bisa langsung proses dan diperpanjang,” katanya.

Pertanyaannya, lanjut dia, kalau Pemkot Semarang mengatakan itu miliknya, tentunya namanya aset adalah Hak Pakai, HGB, HGU, dan seterusnya, sesuai UU Pokok Agraria. “Di situ (Bubakan) bukan sewa, tapi transaksional jual beli. Pihak pembeli dilindungi Undang-Undang. Ini yang perlu pemerintah benar-benar ketahui. Kalau pembeli tidak dilindungi Undang-Undang, tentunya akan tambah parah. Sudah dibeli bisa dijual lagi. Saya tidak menyudutkan siapa-siapa, tapi kalau bicara status aset harus jelas,” katanya. (*)

 

editor: ricky fitriyanto

Abdul Mughis