SEMARANG (jatengtoday.com) – Kasus video syur mirip Gisel mendadak menjadi trending topic lagi begitu ada pengakuan dari pemeran laki-laki dan perempuan video tersebut ke penyidik Polda Metro Jaya.
Ahli Digital Forensik Universitas Dian Nuswantoro Solichul Huda memiliki analisis berbeda. “Saya respek kepada mereka berdua, walau dari sisi IT tidak dapat menjelaskan siapa pelaku laki-laki dan perempuan dalam video syur tersebut, namun mereka mau mengakui. Kalau penyidik tidak hati-hati, mereka bisa lepas dari jeratan hukum, baik jeratan UU ITE maupun UU Pornografi,” ungkapnya, Selasa (29/12/2020).
Huda menduga, pengakuan tersebut karena saran dari penasehat hukum, atau saran dari teman, atau ada alat bukti baru yang ditemukan oleh penyidik. “Sehingga hal itu membuat mereka tidak dapat mengingkari siapa yang ada dalam video tersebut,” bebernya.

Dalam kasus video syur ini, lanjut Huda, penyidik dapat menyangkakan mereka dengan tuduhan melanggar UU Nomor 11 tahun 2008 yang diperbaiki menjadi UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
“Namun khusus untuk Gisel dan MYD, berdasarkan alat bukti yang ada kemungkinan hanya bisa disangkakan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 4 ayat 1,” katanya.
Menurut Huda, mereka tidak dapat disangkakan dengan UU ITE Pasal 27 ayat 1, kecuali kalau penyidik dapat membuktikan bahwa mereka telah mentransmisikan dan atau mendistribusikan dan membuat mudah diaksesnya video tersebut oleh orang lain.
“Namun sepertinya jika yang dituduhkan UU ITE, penyidik akan kesulitan membuktikannya, karena video yang beredar 19 detik tersebut merupakan video re-take dari video aslinya,” terang Huda.
Namun akan lain jika tersangka PP dan MN, pelaku penyebar video 19 detik yang sudah ditangkap sebelumnya bisa menunjukkan video asli dan ada bukti digital dari mana video asli tersebut didapatkan.
“Menurut analisis saya, penyidik sudah memperoleh alat bukti video asli tersebut semenjak tersangka PP dan MN ditangkap. Kemungkinan penyidik menganalisis jejak digitalnya untuk memperoleh alat bukti siapa yang mentransmisikan video tersebut sampai ke tangan tersangka PP dan MN,” katanya.
“Jika bukan Gisel atau MYD yang mentransmisikan video aslinya ke PP atau MN berarti kemungkinan ada tersangka baru selain mereka berempat,” imbuhnya lagi.
Dia menduga, sejak tersangka PP dan MN ditangkap, penyidik telah memperoleh barang bukti video asli. Sehingga diketahui pelaku laki-laki mirip siapa dan dibuat di hotel di Medan pada tahun 2017.
“Kalau yang dituduhkan kepada tersangka adalah UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 4 ayat 1, maka yang bisa dikenakan pasal tersebut hanya Gisel atau MYD. Itupun kalau handphone atau kamera yang digunakan untuk merekam dapat ditemukan oleh penyidik,” kata akademisi yang sering menjadi saksi ahli IT di pengadilan mulai tahun 2012 itu.
Lebih lanjut, kata Huda, jika yang disampaikan Gisel benar, bahwa handphone tersebut hilang tiga tahun yang lalu, maka kasus ini kemungkinan hanya berhenti pada tersangka PP dan MN.
“Mengapa? karena untuk menyangka Gisel atau MYD sebagai pembuat video syur tersebut harus didukung dengan alat bukti digital yang sah,” terang Dosen Digital Forensik Maksi Undip itu.
Menurut dia, jika video asli dan perangkat yang digunakan untuk membuat video tersebut tidak ditemukan, kemungkinan Gisel atau MYD akan lepas, karena Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan sangkaan mudah diingkari di pengadilan.
“Semoga video asli dan alat pembuatnya dapat ditemukan oleh penyidik, sehingga siapa pelaku yang mentransimisikan, mendistribusikan dan membuat mudah diakses dapat diidentifikasi dengan jelas. Kasus ini membuat geger masyarakat karena ulah tersangka PP dan MN, dengan demikian semoga penyidik jeli dan teliti sehingga PP dan MN mendapatkan hukuman yang setimpal,” katanya.
Ini juga pelajaran bagi pengguna media sosial, jangan sampai hanya ingin menambah follower atau menjadi “viral” di sosmed, kemudian menggunakan segala cara yang melanggar budaya dan norma kesusilaan masyarakat.
“Jangan mudah membuat dokumentasi digital kecuali yang diatur oleh UU, misalnya untuk pendidikan. Karena kalau pembuatan sebuah karya dan menyebar seperti ini membuat orang terkena risiko hukum,” jelasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto