in

Kesalahan Yuval Noah Harari dalam Menganalogikan Agama sebagai Game Virtual Reality

Yuval Noah Harari, penulis Sapiens, dalam wawancara di “Ezra Klein Show” menganalogikan “agama” sebagai game virtual-reality. Saya akan tunjukkan kalau analogi Yuval tidaklah tepat.

Kalau mau melihat “virtual reality”, ada contoh bagus, di serial “Black Mirror”, Season 1 Episode 02, berjudul “15 Million Merits” (15 Juta Manfaat). Episode ini mengemas fiksi dystopia, drama, dan mimpi kapitalisme, yang sangat jelas menampilkan seperti apa virtual reality itu.

Episode ini menceritakan sebagian besar orang yang “harus” bersepeda untuk mendapatkan mata-uang bernama “merits”. Kata “merit” bisa berarti kepantasan, manfaat, pahala. Dari “pahala” ini mereka bisa pakai untuk membeli makanan. Tidak ada uang fiat, tidak ada pecahan 75 ribu yang siap ditukar. Sekarang, misalnya, pemakaian uang digital semakin meningkat, di mana orang tidak bisa terlepas dari transaksi yang melibatkan perbankan dan uang virtual. Pajak dan ongkos-kirim ditanamkan dalam biaya overhead product, sehingga sebenarnya kita “membayar” Instagram ketika membeli ayam geprek dari salah satu akun di Instagram yang menjual produk ayam geprek itu, lalu diantar melalui jasa-antar online. Langsung atau tidak, penjual produk ini mengiklan di Instagram. Orang makan di restoran yang memasang tempatnya di Google Maps, secara tak-langsung juga menyisihkan uang untuk Google. Kelihatannya gratis, tetapi percayalah, tidak ada yang benar-benar gratisan di dunia ini.

Singkat cerita, Bing bertemu Abi, meyakinkan gadis cantik itu, untuk ikut pertunjukan bakat.

Bing dan Abi bersama ribuan orang lain, rajin bersepeda (apapun bakatnya), berlatih keras, mengikuti protokol pertunjukan televisi. Kalau berhasil, akan menjadi terkenal. Hidup berikutnya, akan lebih enak, tidak perlu capek bersepeda. Uang akan mengalir. Impian mereka yang ingin terkenal dan disukai penonton. YouTuber juga banyak yang kayak gini. Berharap akan dapat subscriber banyak untuk.mencapai “kebebasan finansial”. Agar bisa “ongkang-ongkang dapat duit”. Mereka bermimpi (dan sekarang mimpi ini menular ke anak kecil) akan ngehit dan kaya dari YouTube.

Bing tinggal di kamar tertutup. Tempat di mana ia masih harus melihat iklan. Kamu harus mau melihat iklan. Zaman di mana dunia ditopang dengan iklan yang memasuki kamar dan wilayah pribadi. Lagi-lagi, saya menemukan sindirian keras di sini. Kebanyakan orang seperti Bing. Seluruh dinding kamar berupa perluasan (extension) dari layar gadget. Apa yang terlihat di Android, hampir sama dengan apa yang terlihat di televisi. Ada iklan. Ada perusahaan besar. Ada selebritas dan politisi. Iklan muncul di antara yang gratisan. Untuk bisa bebas dari iklan, yang ditayangkan dari PlayStore, Instagram, YouTube, Google, dan website, kamu perlu kepintaran khusus. Sampai akhirnya daya toleransi terhadap iklan sudah menjadi bagian dari ruang-privat, bahkan mencapai bawah-sadar.

Layar sekeliling itulah yang menjadi alarm bangun, membuai Bing dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan daftar prestasi hari ini. Kalau skor bagus, dapat makanan lumayan. Kalau skor buruk, kamu harus lebih keras bersepeda agar bisa dapat makanan lumayan. Ini permainan dopamine yang disediakan agar orang selalu kehausan dan merasa memperoleh penghargaan. Melihat notifikasi, membuka, menjawab, ada respon positif, dst.

Bing mengajak Abi ikut Hot Shots, acara yang menjanjikan kehidupan mewah, jika berhasil. Untuk tampil, harga tiketnya 15 juta. Sangat mahal. Waktu, lebih mahal dari semua itu. Tidak selalu mengikuti pola yang dipilih orang banyak, sangat mahal. Orang memilih mengikuti arus utama. Ini “Efek Bandwagon“, ketika sesuatu diopinikan sangat baik dan cocok untukmu, maka kamu hanyut dalam pengaruh mayoritas.

Abi mendapatkan kesempatan. Sebelum tampil, kru pertunjukan meminta Abi meminum “Cuppliance“. Mungkin ini portmanteau (pelipatan 2 kata, dari “cupid” dan “appliance”). Abi menyanyikan “Anyone Who Knows What Love is (Will Understand)”, lagu RNB dari Irma Thomas.

Menurut saya, penampilan Abi bagus. Namun “saya” hanya 1 dari jutaan penonton. “Saya” tampak sebagai karakter yang hampir sama dengan orang lain. Penonton acara ini bukan manusia. Hanya layar dan kartun animasi dengan ekspresi yang dikenal manusia. Senyum, tawa, sedih, dll. Sama ketika kamu melihat foto profile orang, emoticon, dan sekian klik Like di media sosial. Komentar pedas atau pujian yang dideskripsikan dengan emoticon itu-itu juga. Pengalaman yang direpresentasikan secara terbatas.

Representasi emosi ini bisa mengusik emosi talent.

Wraith, salah satu juri, mengetahui kalau yuri lain tidak terlalu tertarik dengan penampilan Abi. Wraith menawarkan Abi tampil di channel p*rno bernama “WraithBabes”.

Abi tertekan. Suasana dan desakan penonton dan yuri, membuatnya menerima. Mungkin juga karena pengaruh minuman “Cuppliance”.

Bing meratapi “kepergian” Abi yang memilih jalur hitam. Bakat Abi terblokir sebagai penyanyi karena keputusan Abi sendiri. Abi hanya dikenal dengan tubuh dan desahan saja.

Bing di kamar, melihat iklan WraithBabes, menayangkan Abi dengan editing video yang memperlihatkan Abi yang menggoda. Bing berhadapan dengan video yang berbicara “lain”. Bukan Abi yang selama ini Bing kenal. Abi tampak sensual dan menggoda. Kamera dan video editing, mengubah Abi menjadi sensual. Close-up, extreme close-up, color grading, manipulasi warna-suara, menampilkan Abi yang “sekarang”. Abi milik channel WraithBabes.

Kamu sering melihat hal seperti ini? Saya sering. Saya punya kawan yang sama sekali nggak lucu, namun bermimpi bisa berhasil membuat orang tertarik dengan channel yang ia buat, berisi video-video lucu. Melihat jumlah subscriber yang bertambah, ia percaya dirinya lucu dan disukai orang.

Bing tidak punya “pahala” (dari bersepeda) untuk menolak iklan. Bing tidak bisa menoleh. Bing harus melihat Abi yang menggoda semua penonton.

Bing marah. Bing menyembunyikan pecahan kaca, yang akan diarahkan ke leher yang tepat, nanti jika semua kamera menyorot kepadanya. Bing mendendam acara Hot Shots dan protesnya akan ia sampaikan.

Siapa yang akan ia lukai?

Sebelum melihat Bing melukai siapa, lihatlah rencana Bing: memprotes dengan ruang seluas-luasnya. Agar mendapat perhatian. Bing memilih media dengan penonton terbayak. Agar lebih didengarkan. Dengan cara ekstrem. Bing mencari moment 3 menit, dengan perencanaan rahasia, untuk menteror penonton. Secara teknis, yang akan ia lakukan adalah “terror“. Akan ada ledakan perbincangan, setelah moment 3 menit ia dapatkan. Berpidato di televisi.

Semakin keras ia bersepeda, semakin hemat ia makan, agar bisa ikut Hot Shots.

Bing akhirnya tampil. Pecahan kaca, ia arahkan ke lehernya sendiri. Bing mengancam semua orang dengan ancaman bunuh-diri. Zaman macam apa ini? Orang ingin menyampaikan sesuatu, di zaman teknologi tinggi, namun harus cari perhatian dengan cara “membunuh dirinya sendiri”. Orang yang tidak lucu, mencari perhatian dengan video lucu. Orang yang tak-religius, mencari perhatian dengan quote orang-orang terkenal dan penampilan yang mempesona orang asing. Para penonton.

Semua orang terpana dengan adegan itu. Mereka tenggelam dalam ketegangan.

Apakah ini bagian dari pertunjukan? Mungkin begitu pertanyaan orang-orang.

Para yuri melerai, namun masih di kursinya. Kamera membuat mereka diam. Yuri butuh kejutan, penonton memang membayar demi ketegangan, menganggap ancaman Bing sebagai bagian dari pertunjukan.

Hanya Wraith yang meminta Bing untuk bunuh-diri sungguhan. Wraith ingin melihat darah sungguhan dan kematian di atas panggung. Jika memang Bing serius.

Wraith, tentu saja memiliki tujuan lain.

Bing berkicau tentang sistem, tentang selama ini hidup “kami” habis untuk berlatih, mencari “pahala”, memperbaiki skor, dan mimpi menjadi orang terkenal.

Adegan kemarahan Bing itu bisa kamu lihat di sini:

You don’t see people up here, it’s all fodder. And the faker the fodder is, the more you love it, because fake fodder’s the only thing that works anymore. Fake fodder is all that we can stomach … Show us something real and free and beautiful — you couldn’t. It’d break us. We’re too numb for it. Our minds would choke. There’s only so much wonder we can bear.”

Saya menerjemahkan teks itu begini:

“Kamu tidak melihat orang di atas sini, itu semua adalah makanan-ternak (fodder). Dan semakin palsu fodder kamu, semakin kamu suka, karena fodder palsu adalah satu-satunya yang bisa digunakan lagi. Hanya makanan-ternak palsu yang bisa kami makan.. Tunjukkan pada kami sesuatu yang nyata, gratis, dan indah – kamu nggak bakalan bisa. Itu akan menghancurkan kita. Kami terlalu mati rasa untuk itu. Pikiran kami akan tercekik. Ada begitu banyak keajaiban yang bisa kita tanggung.”

(Pidato Bing dalam serial “Black Mirror”, Episode S1E02, “15 Millions Merits”)

Bing dengan penuh semangat dan dengan marah mengoceh tentang sistem buatan yang tidak berperasaan yang mereka jalani.

Hope, salah seorang yuri, suka “adegan” itu. Hope mengatakan, pidato Bing ini penampilan paling spontan dan keren, terbesar, dalam sejarah acara Hot Shot.

Bing mendapatkan tawaran untuk tampil secara tetap di acaranya sendiri.

Tepuk tangan untuk Bing.

Wajah Bing penuh tanya.

Bukankah sejak dulu, inilah yang aku impikan? Punya acara sendiri. Tenar. Tepuk tangan. Hidup enak. Tidak perlu bekerja-keras seperti orang lain.

Adegan berikutnya, ending yang terbuka. Bing sedang merekam acaranya sendiri. Dengan kondisi hidup yang lebih enak dan mewah. Bing melihat dirinya sedang menempelkan pecahan kaca di lehernya sendiri. Adegan yang sungguh-sungguh ia lakukan, memprotes sistem, namun ketika di hadapan sistem ia diam karena diposisikan enak.

Hidupnya berubah karena sistem yang tidak ia kenal itu merangkulnya, menjadi berwajah baik. Ia mengenakan topeng kebohongan selamanya, di acara yang ia pegang sendiri, dan menganggap protesnga sebagai masa lalu. Bing mengantongi kebahagiaan.

Virtual Reality dan Hyperreality

Realitas virtual, menurut Oxford Dictionary adalah “the computer-generated simulation of a three-dimensional image or environment that can be interacted with in a seemingly real or physical way by a person using special electronic equipment.”

Simulasi yang dihasilkan komputer dari gambar atau lingkungan 3 dimensi, yang dapat berinteraksi dengan cara yang tampak nyata atau terasa secara fisik oleh seseorang yang menggunakan peralatan elektronik khusus.

Realitas virtual itu pengalaman yang disimulasikan, yang bisa sama dengan kenyataan atau sama sekali berbeda. Ruang dan waktu bisa dilipat: meluas, menyempit, melambat, atau dipercepat, atas bantuan teknologi.

Contoh realitas virtual itu pengalaman ketika seseorang bermain game “mobile legend”, ‘pubg”, atau pengalaman memakai aplikasi latihan nyetir ketika mengikuti ujian SIM. Ketika terbunuh dalam permainan, kamu mengalami shock sesaat. Ketika menabrak, kamu dinyatakan gagal.

Hiperrealitas adalah “citraan atau simulasi, atau kumpulan citraan dan simulasi, yang mendistorsi realitas yang dimaksudkan untuk digambarkan atau sebenarnya tidak menggambarkan apa pun dengan keberadaan nyata sama sekali, tetapi yang tetap merupakan realitas.”

Jean Baudrillard menjelaskan hiperrealitas sebagai “yang real tanpa asal atau realitas“; Umberto Eco memberikan pengertian lebih singkat, hiperrealitas itu “tipuan otentik“. Benar-benar baru, namun palsu, dan tersimulasikan sepenuhnya.

“Dengan demikian, ini adalah peta yang mendahului wilayah — presesi simulacra — itu adalah peta yang memunculkan wilayah dan jika kita menghidupkan kembali dongeng hari ini, itu akan menjadi wilayah yang serpihannya perlahan membusuk di seluruh peta.” begitu menurut Jean Baudrillard, dalam “Presesi Simulacra,” di buku Simulacra.

Kedua pemikir ini setuju, contoh hiperrealitas itu Disney Land. Kawasan wisata yang menampilkan jalan dan rumah sungguhan, yang membuat pengunjung merasa berwisata ke negeri fantasi di masa lalu. Orang bertemu Mickey Mouse yang bukan Mickey Mouse, dari Mickey Mouse yang tidak ada.

Jadi, realitas virtual itu berbentuk pengalaman yang disimulasikan, sedangkan hiperealitas itu kepalsuan yang dianggap nyata.

“Agama” Menurut Yuval Harari

Sekarang, inilah masalah yang saya bicarakan. Yuval Harari, dalam suatu wawancara di Ezra Klein Show, berkomentar tentang agama.

Saya kutipkan dari Vox bagaimana Yuval menganggap agama sebagai realitas virtual dan tidak akan bisa mendominasi Bumi dalam 3000 tahun.

This idea of humans finding meaning in virtual reality games is actually not a new idea. It’s a very old idea. We have been finding meaning in virtual reality games for thousands of years. We’ve just called it religion until now.

You can think about religion simply as a virtual reality game. You invent rules that don’t really exist, but you believe these rules, and for your entire life you try to follow the rules. If you’re Christian, then if you do this, you get points. If you sin, you lose points. If by the time you finish the game when you’re dead, you gained enough points, you get up to the next level. You go to heaven.

People have been playing this virtual reality game for thousands of years, and it made them relatively content and happy with their lives. In the 21st century, we’ll just have the technology to create far more persuasive virtual reality games than the ones we’ve been playing for the past thousands of years. We’ll have the technology to actually create heavens and hells, not in our minds but using bits and using direct brain-computer interfaces.

Kalau saya terjemahkan, Yuval Harari bilang begini:

“Ide manusia menemukan makna dalam game virtual reality sebenarnya bukanlah ide baru. Itu ide yang sangat tua. Kita telah menemukan makna dalam game virtual reality selama ribuan tahun. Kita menyebutnya “agama” sampai sekarang.

Kamu bisa pikirkan agama sebagai game virtual reality. Kamu menciptakan aturan yang sebenarnya tidak ada, tetapi kamu percaya aturan ini, dan sepanjang hidup, kamu mencoba mengikuti aturan. Jika kamu beragama Kristen, maka jika kamu mengikuti aturan, mendapatkan poin. Jika kamu berdosa, kehilangan poin. Jika pada saat kamu menyelesaikan permainan ketika kamu mati, kamu memperoleh cukup poin, kamu naik ke level berikutnya. Kamu pergi ke surga.

Orang-orang telah memainkan game virtual reality ini selama ribuan tahun, dan itu membuat mereka relatif puas dan bahagia dengan hidup mereka. Di abad ke-21, kita hanya akan memiliki teknologi untuk membuat game virtual reality yang jauh lebih persuasif daripada yang telah kita mainkan selama ribuan tahun terakhir. Kita akan memiliki teknologi untuk benar-benar menciptakan surga dan neraka, tidak dalam pikiran kita, tetapi menggunakan bit dan menggunakan antarmuka otak-komputer langsung.”

(Wawancara Ezra Klein dengan Yuval Harari, di acara Ezra Klein Show, dalam Ezra Klein, “Yuval Harari on why humans won’t dominate Earth in 300 years”. https://www.vox.com/2017/3/27/14780114/yuval-harari-ai-vr-consciousness-sapiens-homo-deus-podcast)

Agama, dalam pendapat Yuval di wawancara itu, mirip game: ada peraturan, skor, naik level, lalu mencapai surga.

Tergantung, pengertian “agama” yang bagaimana. “Agama” dalam pengertian para sosiolog agama, beberapa di antaranya yang terkenal berasal dari pemikir yang tidak percaya agama (seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freud), memakai pendekatan berbeda tentang apa itu “agama”. Bagi orang Islam, misalnya, agama mengatur hampir semua sistem, dari apa yang ada dalam hati (batin) sampai yang eksoteris seperti politik dan transaksi perdagangan. Sementara agama Semitik memperlakukan perayaan sebagai peribadatan dan lebih “bebas”.

Istilah “agama”, menurut saya, merupakan keterpaksaan, untuk menamai pelembagaan atau sistem keyakinan yang terwariskan, dengan pengaruh kesejarahan tertentu, yang membuat suatu agama “berkembang”.

Saya bilang “keterpaksaan” karena untuk tahu (mengenal) sistem keyakinan, secara epistemik, orang membutuhkan pen dekatan, disiplin ilmu, kajian, dan ini berarti perlu ada category sebagai pengenal. Tanpa pendekatan ilmiah, jadinya adalah “perangkat tak dikenal”. Maka, setiap mendengar kata “agama” (apalagi agama “orang lain”), seseorang cenderung bermain ofensif-defensif dengan category seperti: Siapa tuhan menurut agama ini? Bagaimana pandangan agama ini tentang kehidupan setelah mati? Siapa yang menyebarkan? dst.

Dan “kebenaran” yang konon dibawa oleh agama-agama, berusaha untuk terbebas dari historisitas. Mereka bilang, agama ini sudah ada sebelum ada alam semesta, landasan segala sesuatu, dst. Terlep as dari apa isinya, pengertian “agama” tidak bisa terlepas dari kategorisasi tadi: tuhan, eskatologi, kemanusiaan, historisitas, dst. Makanya, saya katakan istilah “agama” itu sendiri suatu keterpaksaan.

Buddha, misalnya, bukanlah agama yang bisa dikategorikan seperti keyakinan lain. Buddha tidak mengenal.”Tuhan” seperti yang dimaksudkan dalam sistematika agama versi Barat. Buddha bukan Siddharta, bukan kepercayaan, bukan sistem hukum. Buddha mengenal pencapaian, mengenal “nibbana” (yang bukan-tempat, bukan pula ketiadaan ataupun kepunahan). Kalau di “agama” lain, surga sering digambarkan penuh buah dan kenikmatan biologis, Buddha melampaui itu semua. Kalau di agama lain, peran manusia sangat dominan, Buddha justru sejak awal mengakui kesetaraan spesies. Semua mineral, hewan, manusia, bisa mencapai Buddha.

Kata “agama” tidak memadai untuk menjelaskan agama. Pengertian “Islam” selalu melokal dan historis. Kita tidak bisa memaksakan pengertian Islam menurut tulisan-tulisan lama tanpa terbebas dari historisitas teks itu.

Ketika saya membaca “Book of the Dead” agama Mesir, yang pernah disebutkan dalam film the Mummy, saya justru melihat agama yang berbeda lagi. Bagaimana kemanusiaan dan “waktu” dihubungkan dengan kosmologi dan astronomi. Ribuan tahun yang lalu. Yang menyenangkan, saya bisa membaca kitab “terlarang” ini untuk mengenal “agama” yang berbeda dari cara Barat bikin klasifikasi.

Singkat cerita, istilah “agama” adalah keterpaksaan. Kita tidak bisa mengenal agama dengan istilah “agama”.

Kalau Yuval Harari menganalogikan “agama” sebagai virtual reality, sepertinya, itu tidak terjadi dalam setiap agama. Yuval Harari hanya sedang melihat “praktek beragama” sebagai “agama”. Sama halnya ketika Karen Armstrong menuliskan Sejarah Tuhan itu bukanlah sejarah atas Tuhan, melainkan pemahaman manusia sepanjang sejarah tentang tuhan mereka.

Ketidaksetujuan saya atas pendapat Yuval Harari, ketika ia menganalogikan agama sebagai virtual reality, terjadi karena ia mereduksi “agama” sebagai “pengalaman” — yang disimulasikan. Agama lebih complicated dari itu.

Gambaran Yuval Harari tentang agama sangat tajam dalam mengkritik perilaku manusia-beragama yang “mencari poin” berupa pahala. Seperti Bing dan Abi dalam episode yang saya ceritakan tadi.

Kita hidup di zaman ketika manusia mencari poin, menukar tindakan dengan “reward” (pahala), mencari keselamatan personal, bahkan menukar iman dengan sistem franchise (seperti Volcano di serial “American Gods”), serta kondisi di mana orang percay a ada agency yang menjadi distributor kebaikan dari tuhan mereka, di mana keistimewaan tertentu “terberikan” (given) dan dianggap sebagai bawaan.

Nietzsche lebih dulu melakukan ini ketika bicara tentang agama, ketika ia menulis tentang moralitas tuan-budak (master-slave morality) dalam beragama. Penilaian Yuval Harari bukanlah hal baru, dibandingkan dengan aforisma Nietzsche yang mengguncang pemahaman manusia atas “agama”.

Saya masih menganggap istilah “agama” tidak bisa mewakili agama. Dan karena merupakan sistem yang complicated, tidak bisa direduksi hanya sebagai pengalaman (seperti pengalaman dalam virtual reality). [dm]

Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Semarang.