Perang informasi semakin ramai jika semakin banyak publik terlibat, terutama mereka yang tidak menyadari terjadinya bias kognitif, yaitu pola-pikir yang mempengaruhi cara kita memandang masalah, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain.
Informasi tidaklah berbahaya asalkan tahu bagaimana membacanya. Yang berbahaya itu jika terlalu banyak informasi tetapi tidak bisa membacanya. Terlalu banyak informasi bisa membuat orang terjebak ke dalam perang informasi.
1. Ketersediaan Heuristic (Sederhana dan Mudah Diingat, Agar Dianggap Benar)
Orang cenderung menganggap sesuatu itu penting karena mudah diingat. Cara termudahnya adalah dengan mengemasnya menjadi cerita. Yang berkuasa adalah mereka yang bisa mengemas informasi menjadi cerita di media sosial.
Sebagaimana orang membujuk, begitu pula orang melawan produk dan gagasan orang lain: melalui cerita yang mudah diingat. Cerita yang mudah diingat, lebih kuat melekat dalam pikiran orang, dan bisa dianggap penting.
Pernah dengar isu tentang kandungan zat lilin yang ada di dalam mie instan?
Cerita ini lebih kuat daripada dongeng tradisional, karena punya ide sederhana: “Mie instan mengandung zat lilin, jangan berikan kepada anak”. Daripada memverifikasi kebenaran adanya kandungan zat lilin pada mie instan, banyak ibu-ibu tidak mau ambil resiko atas kesehatan anak, memilih dengan tidak memberikan mie instan. Kalaupun terpaksa, airnya diganti dengan air-panas baru ketika memasak mie instan. Faktanya tidak demikian. Itu hoax, benar-benar berita bohong.
Cerita ini awalnya terpasang di Harian Pikiran Rakyat tanggal 2 November 2006, yang memuat tulisan berjudul “Hindari Makan Mi Instan Setiap Hari”, halaman 21, di rubrik “Kampus”. Tulisan tersebut berasal dari beberapa sumber yang tidak jelas, kemudian Billy N. (yang berstatus dokter dan mahasiswa pascasarjana Unika Soegijapranata, tinggal di Semarang dan Bandung waktu itu) menuliskan sanggahan: informasi yang menyebutkan mie instan itu berbahaya tidaklah benar. Menurut Billy, tulisan di koran Pikiran Rakyat tersebut tidak bisa membedakan antara zat “aditif” dan zat “adiktif”, serta tidak menyebutkan sumber informasi kedokteran yang menyatakan bahaya mie instan dari sisi kesehatan.
Di balik isu-isu pertarungan produk, bisa jadi ada mata-mata industri yang memainkan peran dalam perang informasi. Di balik kesederhanaan seorang tokoh atau senyum selebritas, bisa jadi tersimpan kehidupan di balik layar yang berkebalikan dengan penampakannya.
Selalu ada hal-hal rumit di balik apa yang tampaknya sederhana. Di luar ada “what” (apa), tentu bisa dicari “how” (bagaimana) dan “why” (mengapa) informasi tersebut ada. Ketiga pertanyaan ini dapat digunakan untuk menyibak apa yang tampaknya sederhana.
2. Bias Konfirmasi (Pokoknya yang Saya Percaya Itulah yang Benar)
Bias konfirmasi itu bukan “tidak mengkonfirmasi data”. Lebih dari itu. Bias konfirmasi berarti menganggap informasi ini penting kemudian mencari “pembenaran” (bukan “pembuktian”) dari pihak lain. Jadi, bias konfirmasi itu mengkonfirmasi dan membenarkan diri-sendiri, menganggap apa yang diketahui ini penting, kemudian mencari informasi lain yang membenarkan tindakannya.
Ini sering terjadi pada para penganut “pseudo science”. Seolah-olah ilmu pengetahuan, padahal sebenarnya kebohongan. Misalnya, ketika ada informasi bahwa Apollo 11 milik NASA tidak pernah ke bulan, banyak orang percaya. Setelah percaya, baru kemudian mencari pembenaran. Ketika bertemu dengan artikel-artikel yang penuh “teori konfirmasi”, mereka semakin yakin bahwa anggapan mereka ini benar. Saya membahas ini dalam “Forensik Foto Digital“.
“Agar terhindar dari bias konfirmasi, cobalah mempertanyakan apa yang sedang kamu percaya, uji dengan metodologi yang tepat.”
3. Bias Identifikasi (Masalah yang Tidak Kelihatan)
Bias identifikasi terjadi ketika orang tidak berhasil mengidentifikasi masalah.
Masalah sebesar apapun, bisa terselesaikan, asalkan tepat mengidentifikasi masalah.
Orang sering mengakui adanya masalah besar, tetapi tidak melihat di mana sebenarnya masalahnya. Ini seperti efek “gajah di dalam ruangan” (elephant in the room). Tiba-tiba ada masalah. Apa yang terjadi? Ruangan sosial kita menyempit di media sosial, seperti saat kita ingin bicara enak di dalam ruangan tiba-tiba terasa sesak. Ada gajah di dalam ruangan (entah dari mana asalnya), kemudian jika mau dipindahkan, perlu banyak energi dan pengorbanan, minimal pintu-masuk bisa rusak.
Yang perlu dipertanyakan adalah di mana akar masalahnya? Melakukan identifikasi.
Misalnya, pada kasus perhitungan jumlah orang yang hadir di Senayan kemarin. Mengapa orang berdebat panjang tentang isu agama, media ini memihak mana, berapa kekuatan kelompok X yang sebenarnya, dst. Isunya melebar, tetapi masalahnya tidak teridentifikasi. Kalau debatnya soal jumlah (ini jelas masalah matematika, perhitungan), mengapa melebar ke mana-mana?
Sebenarnya yang menjadi persoalan itu “pembuktian matematis” (berapa jumlahnya?). Bisa dengan beberapa cara untuk memperkirakan jumlah. Kalau mendadak ada “bukti” tentang jumlah IMEI yang katanya lebih dari 8 juta, tanpa ada screenshot dari operator telekomunikasi, berarti bukti itu menjadi fiksi. Debat panjang itu terjadi karena kegagalan mengidentifikasi masalah.
Sama halnya dengan ajakan “hidup sederhana”, lalu ada tokoh pamer makan ketela, dan mengajak orang untuk hidup sederhana atas nama pertanian Indonesia. Kalau kemudian terungkap ia punya jet pribadi yang parkir di Singapura, itu soal lain. Masalahnya di sini, ada kegagalan mengidentifikasi masalah.
Mengapa demikian? Antara hidup sederhana (perilaku ekonomi individual) itu berbeda dengan ekonomi suatu negara (ekonomi nasional). Pertumbuhan ekonomi nasional itu bukan penjumlahan dari ekonomi individu. Hidup sederhana berarti jarang melakukan transaksi, jarang deal dalam frekuensi tinggi dan skala yang lebih luas, padahal ekonomi nasional itu berkembangnya juga dari transaksi antarnegara.
Sama halnya, ketika ada kasus korupsi, kemudian orang-orang berteriak mengusulkan agar “mundur dari jabatan” (padahal tugasnya belum dibereskan), atau malah mau diselesaikan secara moral (ajakan saling-memaafkan), padahal jelas korupsi itu masalah hukum (pasalnya jelas, perangkat penafsirannya juga jelas).
Ketika terjadi korupsi, yang bermasalah itu bukan sekadar koruptornya, tetapi lembaga tempatnya bernaung juga kena masalah. Jadi, selesaikan masalahnya dulu, baru kemudian ia boleh mundur.
Kasusnya jelas korupsi dan pelecehan, ketika tayang di televisi menjadi mirip adu jangkrik karena masalah hukum dikonversi menjadi parodi, dianggap sebagai masalah bukan-hukum.
Bias identifikasi bisa dihindari jika orang mau mengidentifikasi di mana akar masalahnya, agar tahu masalah apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
4. Bias Pandangan Buruk (Kesibukan “Memperbaiki Masa Lalu”)
Ketika orang kesulitan memprediksi apa yang akan terjadi, mereka cenderung kembali ke masa lalu. Sebatas memperbaiki masa-lalu, bukan sepenuhnya melangkah ke depan.
Mereka yang terkena bias pandangan buruk (handsight) cenderung percaya, “kita sudah memiliki sesuatu”, mereka lebih kuat mengingat masa lalu daripada memprediksi masa depan, walaupun ingatan itu berdasarkan keterbatasan data, alias bukan masa lalu yang sebenarnya. Jadi kalau sering salah-data, harap maklum.
Cobalah mengingat kembali, bagaimana ketika semua orang pernah salah dalam memprediksi sesuatu, di masa lalu. Bahkan prediksi teknologi juga bisa salah. Tren yang semula diramal akan begini, ternyata meleset.
Orang sering menceritakan masa lalu, tetapi terjadi bias. Misalnya, ketika ada pertanyaan, seperti apakah perlakuan ibu kita di masa lalu? Hampir semuanya menjawab, ibu mereka orangnya baik, pengertian, dan penuh pengorbanan. Tetapi ketika saya bertanya, “Apa yang dilakukan ibumu ketika seumuran dirimu sekarang?” atau “Konflik psikologis apa yang terjadi pada ibumu, 3 tahun setelah menikah?” mereka tidak bisa memberikan jawaban detail.
Seperti apakah Indonesia di masa lalu? Seperti apakah pertanian di masa lalu? Seringnya, terjadi jawaban yang tidak spesifik. Pada masa Orde Baru, orang percaya pertanian Indonesia maju, padahal faktanya Indonesia selalu mengimpor beras, kecuali pada tahun 1983. Beras adalah makanan pokok orang Indonesia.
Orang menceritakan masa lalu, berdasarkan penilaiannya atas masa lalu, bukan atas apa yang sebenarnya ia ketahui tentang masa lalu. Mereka sedikit “mengingat”, dengan cara lebih banyak “melupakan”.
Perang Dunia I terjadi juga dengan cara seperti ini. Perang yang begitu dahsyat, menyisakan monumen dan daftar-nama para pahlawan, meskipun semua orang tahu, ada lebih banyak nama yang tak-disebut dalam peperangan.
Setelah Perang Dunia I, terjadi meningkatnya disiplin-pengetahuan baru. Ilmu statistik yang masih berbentuk cacah-jiwa alias sensus, mulai dikembangkan. Teknologi penyiksaan, lebih canggih dikembangkan Nazi kemudian. Orang-orang yang gugur, sebagai pahlawan menurut versi negara mereka masing-masing, mulai diabadikan sebagai monumen. Penyebaran karya seni, sekaligus naiknya nilai karya seni. Kecenderungan untuk lebih banyak “melupakan”, dalam hal ini, terjadi ketika statistik “harus” mereduksi manusia menjadi angka, siksaan dan kekejaman menjadi “metode”, dan banyaknya pahlawan tak-dikenal menjadi monumen.
“Sudah saya duga, ini akan terjadi..” sering diucapkan orang, ketika sesuatu sudah terjadi. Ini bagus, jika diucapkan sebelum sesuatu terjadi, tetapi jika keluar dari orang yang selama ini diam, sama saja dengan membodohi diri sendiri. Apalagi dengan mengeluarkan dalil atau mengutip dogma, hanya untuk membenarkan prediksi atas suatu peristiwa.
Solusi dari bias pandangan buruk [atas masa lalu] adalah dengan lebih jernih melihat masa lalu dan menyajikan peluang, menceritakan bagaimana dulu kita pernah salah memperkirakan keadaan dan salah dalam mengambil keputusan.
Manakah partai yang dulu dijagokan, namun ternyata [sekarang] menjadi partai korup? Manakah orang-orang yang dulu dianggap sebagai pejuang demokrasi, namun ternyata berdiri di barisan penyebar hoax?
Tidak perlu jauh-jauh, silakan lihat dari timeline Twitter, 100 hari yang lalu, atau di Facebook, tentang bagaimana prediksi bisa salah.
Semalam, ketika ngopi dengan beberapa kawan, ada kawan saya (seorang petani padi dan tambak udang), menyatakan ketidakpercayaannya, ketika kawan saya yang lain bercerita, bagaimana sebuah negara bisa diserang dengan pergantian musim.
Ia bertanya, “Benarkah musim bisa diganti dengan alat?”.
Menurut ilmu pengetahuan, yang dikembangkan sejak Nikola Tesla, hal itu bisa dilakukan melalui infrastruktur teknologi.
Anda bisa membacanya sendiri, tentang senjata baru Amerika bernama HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program), program penelitian aurora aktif berfrekuensi tinggi. Kalau nuklir menghancurkan, HAARP tidak demikian. Cuaca bisa dibuat, musim bisa diubah. Jika dikombinasikan dengan perang informasi, HAARP bisa melancarkan monopoli ekonomi. Bayangkan jika petani sudah kesulitan menghadapi musim dan negara yang memiliki tradisi agraria tidak lagi bisa mengandalkan pertanian.
Moral di balik pertanyaan kawan saya ini adalah betapapun kuatnya keyakinan-klasik bahwa pergantian musim itu bersifat natural, dan ini berarti kepercayaan yang berasal dari masa lalunya, harus berhadapan dengan fakta yang belum ia ketahui, dari masa lalu juga, bahwa pergantian musim bisa “diubah” melalui infrastruktur.
Pada kasus “saya tidak tahu sejarah ibu saya pada saat seumuran saya sekarang,” ini bisa kita lawan dengan mempelajari sejarahnya. Mempelajari sejarah itu menakutkan bagi pihak yang takut kepada kekuatan kita di masa lalu.
Untuk mengalahkan bias pandangan-buruk, cobalah melampaui pandangan-pandangan lama, tentang apa yang sekarang ini kamu jalani, sejauh itu lebih menguntungkan.
Pandangan lama mengatakan, politik itu licik dan kotor, tetapi, itu politik di masa lalu ataukah politik yang sedang kamu jalankan sekarang? Ini antara keberanian kita mengubah-bersama atau tidak.
Setiap hari, ketika sedang bertransaksi, melobi, mengambil-keputusan, memilih, sebenarnya kita selalu berpolitik. Jika selalu beranggapan bahwa politik itu licik dan kotor, kita bisa mengubahnya, apalagi jika bersama-sama mau menginisiasi (mengawali) gerakan perubahan.
Bias pandangan buruk bisa dihapus dengan membuka-pikiran terhadap hal-hal baru yang lebih baik, melampaui pandangan-pandangan lama. Percayalah kepada diri-sendiri bahwa ini bisa dilakukan.
5. Bias Optimisme (Gagal Melihat Kebutuhan Sebenarnya)
Optimisme itu bagus, asalkan tidak selalu bersandar kepada masa lalu dan keberanian.
Saya sering walk-out kalau sebuah pertemuan hanya sibuk mengajak memperbaiki dari masa lalu. Membicarakan masalah yang akan terjadi di depan, itu lebih penting daripada sibuk memperbaiki masa lalu.
Bias optimisme sering terjadi, ketika orang terlalu percaya kepada kemungkinan, tanpa kalkulasi matang. Apalagi menganggap peluang kita lebih tinggi.
Kebanyakan pembenahan itu terjadi dalam rangka “memperbaiki masa lalu”. Orang sering berpandangan seolah-olah masa lalu itu sebagaimana yang ia pikirkan. Akhirnya, sibuk memperbaiki masa lalu. Setiap mau melangkah, kelamaan menoleh ke belakang, akhirnya ketika ada orang yang visioner dalam memandang masa depan, ia tidak bisa menerima karena “belum ada bukti”. Masalahnya, justru dengan cara seperti inilah, orang mengobral janji dengan cara, “Saya akan..”, “Nanti saya jamin..” dst. Orang yang merasa “terbebas dari kesalahan di masa depan”, punya banyak janji, karena nggak punya kerjaan lain selain mengkritik.
Tidak berbeda dengan orang tombok togel. Sudah jelas kalau menebak 2 angka berarti peluang dapatnya hanya seperseratus, tetap saja orang bertaruh dan menunggu jam 23.00 (siapa tahu dapat). Perputaran togel yang terjadi setiap hari, memberikan pelajaran berharga, salah satunya: jangan terlalu berharap jika optimisme tidak diimbangi dengan kalkulasi.
Orang optimis karena percaya bahwa hal ini “mungkin” dan bisa terjadi karena “baik untuk masa depan”.
Visualisasi data, namun berdasarkan teori lama. Ini sering terjadi di perkuliahan dan bisnis, di mana teori-teori usang ditampilkan, dengan kartografi, dan hal-hal yang terjadi “secara teori” dianggap berpeluang-besar akan berhasil. Dalam presentasi bisnis, tidak jarang dianggap “pasti” berhasil. Optimisme yang menipu, di balik training yang hanya berdasarkan simulasi dan kalkulasi, juga menggunakan model optimasi seperti ini.
Akar dari bias optimisme adalah: kurangnya informasi (terutama di lapangan, lokal-spasial), menganggap teori sebagai kenyataan, dan terlalu bersandar kepada “kebaikan”.
Susu itu bagus untuk kesehatan, tetapi sejak 2011 (dan ngehit lagi di 2018 kemarin) ditemukan, ternyata susu saset lebih banyak mengandung gula. Merancang model bisnis itu bagus, tetapi percaya pada 1 presentasi yang belum kamu ketahui detailnya, lalu mempertaruhkan uang untuk menjalankan model bisnis tadi, tentu tidak baik alias merugikan.
Optimisme itu baik, tetapi bersikaplah realistis dalam melangkah. Sebagus apapun rencana politik, perlu diuji dan dipertanyakan. Konflik yang terjadi dalam optimisme (ketika menyampaikan perkiraan keadaan maupun analisis situasi dan analisis tindakan), bukan untuk menggagalkan rencana, tetapi memperbaiki langkah.
6. Bias Proyeksi (Keinginan vs. Kebutuhan)
Bias proyeksi sering terjadi ketika kita memproyeksikan keadaan sekarang menuju masa depan.
Ini terjadi seperti ketika seseorang kelaparan lalu pergi ke warung dan membungkus apa saja yang ingin dia makan saat itu (bukan apa saja yang ia butuhkan). Seorang perempuan yang sangat yakin tentang betapa pentingnya hidup hemat, justru belanja besar karena ada diskon, karena, potongan 10% atau “tebus murah” berarti penghematan.
Bias proyeksi membuat perempuan ini memiliki 3 alasan membeli barang: 1. Memang butuh; 2. Siapa tahu nanti butuh; dan 3. Nggak segitu butuh, tetapi bentuknya lucu, jadi ya beli saja.
Ide yang bagus justru tidak merombak segala-galanya secara serentak. Ada tahapan yang harus diikuti, ada langkah-langkah kecil yang perlu disusun sebelum mencapai ide besar.
Bias proyeksi bisa dikalahkan jika kita bersikap realistis terhadap kebutuhan.
7. Bias Diskon Hiperbolik (Pilih Janji Keuntungan ataukah Kualitas?)
Mana yang kamu pilih: membeli berdasarkan janji “diskon” ataukah pada kualitas?
Richard Thaler, peraih nobel di bidang ekonomi, menemukan bahwa orang lebih suka “menerima uang sedikit tetapi diberikan sekarang”, daripada “menerima uang lebih banyak tetapi diberikan nanti”. Ini merupakan bias diskon hiperbolik.
Diskon hiperbolik membuat orang kesulitan melihat dirinya di masa depan. Apakah kita membeli karena “diskon” atau memang kualitasnya bagus?
Sama halnya dengan menjalin komitmen untuk bekerja dalam tim, bisakah itu diuangkan? Tentu tidak. Ada yang lebih menarik dari itu.
Mari kita melihat, betapa mudahnya orang dikacaukan oleh informasi, entah itu berbentuk berita, rumor (desas-desus), issue (yang sedang berlangsung, namun belum sepenuhnya jelas), hoax (setengah-faktual), ataupun fake-news (berita bohong). Satu kalimat singkat, bahkan hanya emoticon, yang menyinggung perasaan, bisa jadi memutuskan kebaikan dan pertemanan.
Informasi bisa dianulir informasi lain.
Apa yang telah kita percaya sejak lama, bisa dikalahkan oleh satu informasi, hanya jika kita mudah mempercayai informasi itu.
Yang lebih berharga dari informasi adalah “manusia”nya. Manusia bisa mengkonfirmasi kebenaran informasi dan memperbaiki-diri. Manusia mempunyai kualitas pertemanan, sedangkan informasi tidak.
Cara mengalahkan bias diskon hiperbolik: bangun komitmen terhadap kebutuhan, lihat kualitas yang sebenarnya, dan kenali seperti apa diri kita nanti di masa depan. Seperti apa masa depan kota ini di masa depan? Seperti apa saya di masa depan?
8. Ilusi Frekuensi (Betapa Sering Melihat Gambar Iklan)
Yang sering dilihat, mempengaruhi keputusan, dan pelan-pelan mengubah perilaku.
Orang yang sedang belajar, termasuk sedang jatuh cinta, tertarik memperhatikan sesuatu, sering melihat obyek yang sedang ia pikirkan itu hadir di mana-mana. Pikiran cenderung memperhatikan pola.
Ini dibentuk sejak kecil, ketika seorang ibu (atau guru) memberikan pelajaran, “Ini namanya sapi”. Ketika bertemu dengan sapi atau gambar sapi, ia bertanya kepada anaknya, “Apa namanya?”. Sapi. Anak kecil yang menonton film “Shark” dan “Finding Nemo”, yang secara teknis mendapatkan “informasi” tentang hiu dan laut, dengan ikan-ikan yang menari lincah di dasar lautan, akan menanyakan ikan, ketika mereka diajak ke laut.
Cobalah sajikan 1 gambar menu sepiring udang (entah itu udang goreng, udang saus-tiram, udang pedas, udang asam-manis) kepada orang yang jarang makan udang, kemudian tanyakan, “Apa yang pertama kali kamu lihat?”. Kemungkinan, ia akan menjawab tentang rasa, pengalaman makan, atau tentang menu itu.
Karena baru 1 gambar, coba sajikan lagi beberapa gambar menu sepiring udang, dan pertanyaannya sekarang lebih menjurus, “Apa yang pertama kali kamu lihat?”. Terbentuk pola sekaligus terbentuk pusat perhatian. Lama-lama ia akan menjawab “udang”.
Mengapa bukan “sepiring udang”? Mengapa bukan “piring”? Karena ada pola dan pertanyaan kita mengarahkan dia ke “penglihatan”.
Sumber ilusi frekuensi adalah gabungan antara “kemampuan membayangkan” dan “cara menyajikan data”.
Saya menggunakan pertanyaan itu, untuk menguji bias informasi yang terjadi pada orang. Berikan foto, mintalah ia berimajinasi “dengan” foto tersebut, maka ia akan memperlihatkan seperti apa ia berpikir.
Apa yang terjadi ketika di pinggir-pinggir jalan banyak terdapat iklan? Dan gambar caleg dengan baju rapi, logo parpol, dan ajakan memilih? Atau ketika ada orang terang-terangan melakukan hoax lalu berteriak betapa media kita penuh hoax?
Energi kita akan habis hanya untuk “menjawab” atau menyajikan “begini sebenarnya”, dan menyatakan “sikap”. Kita, jika demikian, tanpa sadar, ternyata ikut dalam arus hoax itu. Sikapnya berbeda, tetapi ikut membahasnya. Habis hanya untuk memberikan reaksi dan balasan.
Ilusi frekuensi bisa dikalahkan jika kita bisa menunjukkan adanya hal-hal yang tidak mainstream (arus-utama), namun layak diperhatikan. Bahwa ada hal-hal menarik di luar foto kampanye, yang bisa kita bagikan. Sebab suara merekalah yang akan menjadi gerakan perubahan.
——-
Orang tidak bisa terbebas sepenuhnya dari bias kognitif, apalagi dalam perang informasi. Setidaknya, dengan mengetahui bagaimana bias ini sering dimainkan dalam perang informasi, kita bisa lebih jernih mengambil keputusan dan memprediksi apa yang sedang dan akan terjadi. [dm]