SEMARANG (jatengtoday.com) – Beredarnya Tabloid Indonesia Barokah dan Pamflet Say No Jokowi di sejumlah wilayah di Jawa Tengah, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Banyak yang menilai bahwa kampanye model seperti itu sudah tidak efektif lagi mengingat masyarakat sekarang semakin cerdas.
Pakar Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip), Triyono Lukmantoro mengungkapkan, pada masa Pilpres 2014 lalu, ada tabloid serupa bernama Obor Rakyat. Isinya mendiskreditkan Jokowi sebagai calon presiden kala itu. Sedangkan kini, isi tabloid Indonesia Barokah menyudutkan Prabowo.
“Dulu, Jokowi dikatakan sebagai boneka Megawati di PDIP, Jokowi dikatakan sebagai PKI, sebagai anti Islam, dan sebagainya,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (27/1/2019).
Menurutnya, jika kampanye melalui media tabloid diulang lagi pada Pilpres 2019 ini, maka patut untuk menengok hasil dari kampanye 2014 silam. Kenyataannya, meskipun tabloid Obor Rakyat tersebar sangat masif, Jokowi masih menang dan menjadi presiden.
Triyono melanjutkan, kalaupun dulu bisa dibilang cukup efektif karena selisih suara masing-masing calon tidak terlalu banyak, namun jika itu diterapkan lagi, ada berbagai hal lain yang patut dipertimbangkan. Sekarang ini, katanya, masyarakatnya sudah semakin pintar.
“Apalagi di tengah derasnya arus informasi digital, saya kira kampanye seperti itu sudah tidak efektif lagi,” tegasnya.
Menurut dia, setidaknya ada tiga alasan mengapa kampanye dengan menggunakan tabloid Indonesia Barokah dan pamflet Say No Jokowi tak efektif.
Pertama, ujarnya, karena saat ini ada banyak media yang lebih kredibel dalam kapasitasnya memproduksi berita. Biasanya, media seperti itu akan memberitakan isu-isu yang jelas, yang secara otomatis akan mengkonter berita-berita hoax yang tidak berdasar.
“Misalnya berita-berita yang dari televisi itu kan memang berita-berita yang diulas oleh orang-orang yang terpercaya. Sedangkan identitas penerbit dari Tabloid Barokah itu kan tidak jelas,” beber Triyono.
Alasan kedua, karena ada penjelasan dari tokoh masyarakat. Berhubung penyebaran tabloid itu umumnya di masjid-masjid, orang-orang awam sebelum bersikap akan mencari pertimbangan dengan imam atau tokoh agama di sana. Dalam istilah komunikasi, imam disebut opinion leader atau yang menjadi pemimpin pendapat. Yakni tokoh yang bisa menyaring dan mempertimbangkan apakah informasi ini benar atau tidak.
“Masyarakat pun akan menanyakan kepada tokoh masyarakat atau orang yang dipercayainya. Dan itu yang akan lebih mempengaruhinya,” imbuh Triyono.
Alasan yang terakhir, katanya, karena masyarakat sekarang sudah banyak yang cerdas. Apalagi mereka yang melek komunikasi dan mempunyai sarana untuk mengakses berita-berita lain. Triyono menerka bahwa orang juga akan memilih dan mempercayai berita yang memang sudah jelas juntrungannya.
“Masyarakat sendiri bisa membandingkan. Kalau misal dari situs-situs yang tidak jelas, kan mereka akan berpikir ulang,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto