in

13 Strategi Bisnis Kafe

Summary

  • Venue Strategis, Interior Nanti
  • Siapa Tetangga Sebelah Saya?
  • Mengkonversi Pengunjung Menjadi Pelanggan
  • Branding Seperti Salon, Bukan Barbershop
  • Netflix versus YouTube: Amati Perilaku Konsumen
  • Mengapa Survey Produk Sering Gagal?
  • Nokia dan Big Data Bisa Salah
  • Online untuk Melokal
  • Coca-cola: Menentukan Lawan
  • Identitas dan Persona
  • Konsumen Bukanlah Raja
  • Fasilitas Fisik
  • Agar yang Datang Bukan Hanya Konsumen
  • Intervensi Visual Branding yang Mencekam

Venue Strategis, Interior Nanti

Pertimbangan orang membuat bangunan, terutama untuk bisnis: Ada apa di sekitarnya? Apakah lokasinya strategis? Artinya: venue itu nomor satu.

Jangan bayangkan ruangan, bayangkan suatu venue.

Konsep “venue” itu bukan suatu tempat, tetapi kompleks yang berkarakter. Ada apa di sekitarnya? Bisa apa saja di sini? Semakin banyak yang bisa dilakukan, orang semakin betah dan mau berkunjung kembali.

Kalau berkemungkinan ramai, dengan traffic (lalu-lintas kunjungan) tinggi, tentu lebih menyenangkan.

Pikirkan semudah apa orang bisa datang dan bisakah dicapai dari rute yang berbeda. Posisi strategis itu penting.

Jika mau membuat bangunan yang terkucil (jauh, sepi dari keramaian), tetap pikirkan sebuah kompleks: pengunjung bisa dapat apa saja di situ?

Siapa Tetangga Sebelah Saya?

Konsep ini yang sering terlupakan ketika orang mau membuat kafe: neighboorhood. Siapa tetangga sebelah saya?

Tetangga sebelah berarti “tawaran” bagi pengunjung, bisa ke mana mereka selain di kafe ini. Kalau menyediakan apa saja, hanya yang berkaitan dengan kopi dan minuman, tentu tak-menarik. Neighboorhood berarti “view” (pemandangan) di sekitar kafe.

Banyak sekali kafe yang memiliki interior bagus, tetapi orang tidak melihat pemandangan berbeda, atau bunyi-sekitar yang berbeda. Kafe di mal, yang menyediakan merk terkenal, melupakan pentingnya “tetangga”. Mereka asal menempati tempat strategis dan ramai, tetapi melupakan siapa di sebelahnya. Seperti halnya orang pergi ke pasar tradisional, mereka lebih suka berjalan ke sebelahnya untuk membeli kebutuhan lain, yang masih berkaitan untuk sekali-jalan.

Walaupun di dalam kafe tersedia musik bagus, dengan frequency 432MHz atau audio HD sekalipun, orang lebih suka bunyi natural. Suara pasar tradisional, alun-alun (public square), taman, itu lebih tertanam dalam pikiran dan dirindukan orang, daripada apa yang keluar dari perangkat elektronik.

Faktor ini bisa didapatkan hanya jika sekitar kafe memiliki bunyi alami, seperti: suara dokar, burung berkicau, percakapan dan tawa, angin meniup pepohonan, dll.

Selain suara, pengaruh positif bisa datang dari warna dan “view” (pemandangan). Apa yang terlihat saat pertama kali bangun tidur: warna imitasi (cat tembok, sprei, casing hape, kaos dengan warna sintetis) ataukah warna alami: kayu, pepohonan, tanah, dan langit?

Saya lebih suka di belakang Kafe Sandoz, tempat di mana masih bisa melihat sawah, tawa bisa lebih lepas, dan tenang untuk menyelesaikan pekerjaan online.

Perhatikan sekeliling. Orang melihat casing dulu, baru dalamnya.

Mengkonversi Pengunjung Menjadi Pelanggan

Di sini kita perlu belajar dari YouTube. Sebelum bikin channel, pertimbangkan: Keyword apa yang akan kamu mainkan?

Mencari keyword berarti meneliti selera yang sedang berjalan, mencari peluang-lain yang bisa ngehit, dan nanti akan melibatkan pengunjung. Jangan mendirikan dulu, mencari “karakter” kemudian. Apalagi kalau melibatkan modal besar. Tujuannya satu: mendatangkan pengunjung lalu mengkonversi pengunjung (visitor), menjadi pelanggan (subscriber).

Branding Seperti Salon, Bukan Barbershop

Bisnis kafe yang bagus itu seperti salon. Kita bisa belajar dari perbedaan strategi barbershop (potong-rambut) dan salon. Barbershop mengandalkan kemampuan (skill) dasar berupa memotong rambut dengan cepat dan rapi, lebih banyak menunggu orang datang (pasif), alatnya nggak terlalu berkembang, dan hanya pamer merk di tempat. Semua yang datang diperlakukan sama, sebagai orang yang ingin potong-rambut. Ia menunggu.

Kebanyakan orang, bekerja dengan cara seperti ini. Pekerjaannya bagus, pasifnya yang nggak bagus. Mengandalkan skill tetapi menunggu. Orang datang, selalu diperlakukan sebagai 1 jenis manusia: butuh potong rambut.

Salon Ibu Nani (bukan nama sebenarnya), lebih imajinatif. Tadinya salon Ibu Nani hanya sekadar urusan rambut (toning, hair style, creambath, dll.). Sejak awal ia punya imajinasi, salon ini bisa besar. Itu berarti, skill harus berkembang. Cara memasarkan dan branding harus lebih baik. Ibu Nani berani berkembang dari rambut ke body care (dari kulit sampai dalamnya kulit). Menjajakan produk yang berhubungan dengan kecantikan dengan kelas (selera dan kemampuan-beli) berbeda-beda. Orang yang datang, belum tentu bermasalah dengan kecantikan. Sales produk, event organizer fashion show, instruktur yoga, dll. bisa menjadi mitra dan pintu bisnis Ibu Nani.

Ke mana saja Ibu Nani pergi, branding melekat padanya. Ia selfie, menuliskan status, berbincang saat merawat rambut dengan pembeli, ia tampilkan “alasan” mengapa dan bagaimana semua orang bisa tampil cantik. Ibu Nani sebenarnya “bergerak” dan identik-dengan brand salon yang ia dirikan. Ibu Nani berkembang, dari lulus kursus tata-rambut, ke body-care dan beauty treatment. Alatnya bertambah, strateginya juga fleksibel. Ibu Nani sesekali bersedia “off-topic” di media sosial, bicara tentang hal-hal di luar kecantikan, sebab ia berinteraksi dengan manusia. Ia melakukan percakapan dan terus belajar.

Jadilah aktif dan meluas, jangan diam dan datar.

Kafe yang hanya menawarkan “welcome and drink together” atau “ngopi sambil wifian” sudah pasti sama dengan yang lain dan tergilas.

Jadi, pertanyaan sebelum bikin kafe adalah: Mengapa kamu masuk ke bisnis ini? Apakah brand yang kamu bawa sudah terlihat pada dirimu? Bisakah orang melihat selain minuman yang kamu tawarkan?

Netflix versus YouTube: Amati Perilaku Konsumen

Pelajari perilaku pengunjung tertaget. Jangan menanyai dalam bentuk survey.

Strategi ini diterapkan Netflix (channel televisi berbayar penayang film dan serial) yang menyaingi YouTube Red (YouTube Premium). Netflix tidak bertanya apa maunya [calon] pelanggan, tetapi mengamati secara langsung bagaimana [calon] pelanggan menonton film dan serial. Ternyata, penonton film itu suka pesta. Serial diminati jika tidak terlalu panjang. Berceritalah yang aneh dan berbeda dari film-film box office.

Jam berapa orang biasanya menonton? Mereka sambil apa? Dan semua garapan Netflix, ngehit.

Menjalankan strategi tanpa riset data sama dengan membuang uang, waktu, dan energi.

Mengapa Survey Produk Sering Gagal?

Kegagalan survey, sering terjadi karena mereka “bertanya”, dengan opsi terbatas, dan kehilangan konteks “manusiawi”. Ada banyak data yang akhirnya tak tertangkap, hanya karena tidak ada model data yang bisa mewakili pendapat konsumen. Tidak semua orang bisa mengartikulasikan gagasan mereka, dan tidak semua keinginan mereka ini ada opsinya dalam survey. Itu sebabnya, metodologi secanggih apapun, selagi masih dalam bentuk kuesioner, tidak efisien dalam memprediksi apa kemauan pelanggan.

Orang bisa sakit karena pola makan dan minum yang salah. Rumah sakit dan apotik punya data siapa saja yang sakit dan apa yang paling dibeli (agar mereka sehat). Indomaret dan Alfamart juga punya data. Tetapi data ini tidak mudah diakses dan tidak dipublikasikan, apalagi secara berkala. Namun data bisa dicari yang paling relevan dengan riset sebelum mendirikan kafe. Atau selain kesehatan, bisa juga dengan mencari perilaku orang selama ngopi, apa motivasi mereka keluar dari kantor atau rumah, dst.

Statistik adalah ilmu menganalisis data untuk mengambil keputusan. Mengambil tindakan tanpa data, akibatnya fatal. Secara finansial, hasilnya jelas merugi.

Nokia dan Big Data Bisa Salah

Sejak zaman Yunani, ketika orang mau mengambil keputusan besar, mereka pergi ke Oracle. Orang sekarang, bertanya kepada Big Data, atau melalui Google, dengan jebakan betmen yang berbahaya: ilusi kuantitas. Orang merasa tahu dan mengendalikan keadaan, ketika mendapatkan data. Namun data bisa salah. Nokia pernah mengalami itu, ketika dikalahkan smartphone Android.

Pada tahun 2009, ketika iPhone baru keluar, orang China menyukai iklan iPhone. Mereka memimpikan memasuki teknologi canggih (walaupun yang ditawarkan oleh iklan iPhone tidak lebih dari sekadar simuasi). Tricia Wang, pakar etnografi data, menyamar sebagai pedagang kaki lima, menjadi penjaja kue, dan tidur di warnet, bergaul dengan orang-orang China selama 5 tahun, dengan satu temuan: orang China akan membeli smartphone, betapapun mahalnya. Fungsi komputer yang dikompresi menjadi sebuah telepon-cerdas. Sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Yang melampaui iPhone.

Nokia tidak percaya itu. Nokia menolak karena dianggapnya itu bukan data besar (Big Data). Menurut jutaan data yang dimiliki Nokia, tidak ada indikasi sama sekali bahwa orang menginginkan itu. Sedangkan data Tricia Wang hanya 100.

Nokia benar, data itu tidak terlihat, karena Nokia mengirimkan survey dengan asumsi orang tidak tahu apa itu smartphone. Itu sebabnya ia tidak menerima data apapun tentang smartphone. Survey Nokia dirancang hanya untuk mengoptimalkan model bisnis yang ada, bukan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Nokia tidak melihat dinamika pasar. Ia hanya berpikir bagaimana menjadi lebih baik. Dan akhirnya Nokia kalah melawan Android.

Nokia kalah karena dibatasi oleh pandangannya sendiri dengan hanya melihat “yang lain” (produk lain) dan sibuk memperbaiki yang lama. Nokia kalah karena mengandalkan metodologi survei yang “bertanya”, bukan mendengar dan mengamati. Nokia tidak siap melakukan revolusi smartphone. China kemudian menang, setelah mengadopsi dan melampaui Apple.

Netflix ngehit menyaingi YouTube Red (premium) karena Netflix tidak bertanya kepada [calon] pelanggan, tetapi melihat bagaimana perilaku orang dalam menonton film dan serial.

Big Data dan Google, tidak ubahnya Oracle. Kebiasaan bertanya kepada Oracle (dukun di zaman Yunani), ketika seseorang ingin berpergian atau akan berperang, masih terjadi sampai sekarang. Apa kata Google? Apa kata Big Data? Padahal Google bukanlah narasumber, bukan pula media informasi. Ia memforward informasi dengan keajaiban (seperti ketika Oracle mengalami “trance” sebelum kemudian para penafsirnya menerjemahkan “jawaban” Oracle) lalu menyajikan hasil penafsirannya (atau “algoritma”, yang terdiri dari data dan “opini” Google) kepada Si Penanya.

Lakukan riset, pengamatan-langsung, kepada calon pelanggan. Bukan dengan menanyai dalam bentuk survey atau kotak kritik dan saran.

Dengan begitu, baru bisa menentukan, seperti apa kamu akan melokal.

Online untuk Melokal

Melokal juga berarti mengkonversi pengunjung (dari manapun) menjadi pelanggan.

Sama halnya sebuah channel di YouTube, pada awalnya harus memilih: antara mendatangkan viewer (atau orang mampir) ataukah subscriber (pelanggan). Semakin banyak yang mampir, peluang berlangganan lebih besar.

Banyak kafe gagal ketika hanya “menunggu” dan promosi di media sosial. Promosi segencar apapun menjadi tak-efektif ketika tidak melokal.

Orang mencari dengan rute (dari titik A ke B) dan peta (bisa lewat mana saja). Kalau di darat mudah ditemukan, sebaiknya mudah pula dicari di media sosial dan Google. Kehadiran digital hanyalah pendukung, bukan satu-satunya. Tujuannya tetap satu: mengkonversi pengunjung menjadi pelanggan.

Melokal berarti hadir di mana-mana dan diketahui orang. Sekalipun media sosial efektif, pastikan menyiapkan produk dan layanan dengan baik, sebelum promosi melalui Instagram dan Facebook Ads.

Coca-cola: Menentukan Lawan

Jangan pilih sembarang orang karena tidak ada produk dan layanan yang bisa untuk semua orang. Mentarget itu penting.

Pembuat Coca-cola (merk ini mendunia, hanya tidak ada di Korea Utara dan Cuba) sejak awal sudah menentukan siapa musuh Coca-cola. Musuh Coca-cola adalah peminum kopi, teh, air putih, dan soft drink lain. Coca-cola melawan merek lain. Coca-cola (yang baru ada waktu itu), berani melawan minuman lain.

Perusahaan rokok tahu siapa musuhnya, dan rajin berkampanye dukung-tembakau. Mereka meyakinkan bahwa merokok itu enak, menyehatkan, berjasa bagi pajak negara, peduli kesehatan warga, dst. Dan mereka berdiri gagah.

Pengusaha kafe bisa sebagus itu, sekalipun banyak lawan dan pesaing. Tentukan siapa lawanmu. Petakan kompetitor.

Bisnis berjalan berdasarkan prinsip peperangan. Sebagaimana kata Tsun Zu, “Ketahui siapa lawanmu”.

Identitas dan Persona

Cara termudahnya, berikan kafe ini identitas yang jelas. Jika ia “seseorang”, seperti apakah sosoknya?

Persona untuk menentukan untuk siapa produk dan layanan ini.

Apakah ini anak muda yang suka olah raga dan musik? Ataukah ibu rumah tangga yang welcome pada kedatangan keluarga? Ataukah lelaki pemurung yang selalu resah dengan kehidupan cintanya? Tanpa “persona” (citraan kepribadian), suatu brand menjadi kurang jelas kehadirannya.

Menyajikan menu lengkap dan lezat, bukanlah fitur yang perlu diandalkan kepada para pembeli. Itu prasyarat dasar. Mi instan tidak perlu tagline “cepat saji” karena jenisnya sudah mi instan. Kalau ia pakai tagline terkait selera nusantara, orang bisa lebih penasaran dan tertarik. “Persona” harus menyentuh “emosi” pembeli, namun tidak harus logis dan rasional.

Mengapa orang membeli “Supreme”? Orang membelinya bukan karena kualitas atau warnanya, mereka membeli karena cara “Supreme” dalam menjual “edisi terbatas” dan harus 1 pintu (dari website mereka yang unik). Supreme menang karena citraan eksklusif dan bahan yang tak-tertandingi. Ia tidak bisa dibajak. Hanya Supreme yang bisa meniru Supreme. Para konsumen dengan bangga pamer keaslian dan mengecam para pemalsu Supreme.

Keaslian, kebanggaan, kualitas, adalah beberapa aspek yang membuat orang mau membeli melampaui fungsi konvensional. Pakaian bukan sekadar dipakai. Ngopi bukan sekadar ngopi. Orang membeli karena sesuatu yang “melampaui” fungsi konvensional. Itulah yang tak-tergantikan.

Konsumerisme melampaui hal-hal yang rasional-fungsional. Orang membeli karena emosi, engagement (keterlibatan), charity, prestige (kebanggaan), ideologi pop, susah bikinnya, koneksi rahasia, pragmatisme, pengalaman menikmati, persahabatan, tradisi, dan hal-hal di luar rasa.

Orang bisa membeli luwak liar Gayo atau Blue Mountain Hawaii (keduanya punya rasa nomor 1 di dunia) dengan uang, namun tidak bisa membeli tawa dan rasa enak. Itu sesuatu di luar fungsi konvensional yang justru dicari orang.

Terlepas dari itu, identitas adalah sesuatu yang secara sengaja dibentuk, entah secara sadar atau tidak, secara historis atau tidak.

Bisakah “persona” yang telah dibuat ini tersampaikan kepada pembeli?

Persona bukanlah sekadar tagline. Persona bukanlah “Kopi Khas Kota X”. Persona adalah citraan gagasan yang dimanusiakan. Jika produkmu ini seorang manusia, seperti apakah sosoknya?

Persona diterjemahkan dalam promosi sebagai gagasan yang diperjuangkan dalam percakapan. Sampai pembeli tahu mengapa produk ini berwujud “sosok fiktif”? Mengapa kafe ini kamu serupakan seperti seorang ibu yang mencintai keluarganya, sehingga orang tahu alasan mengapa “keluarga” menjadi gagasan besarmu?

Akun Twitter yang ngehit, pintar menerjemahkan “persona”, sehingga seolah-olah pemegangnya seorang politikus, padahal sebenarnya bukan. Atau penyiar radio memakai persona orang tua (suaranya mirip seorang kakek) yabg penuh nasehat, padahal ia sebenarnya anak muda. Pesan orang tua (pura-pura saja) yang mengerti dunia anak muda, akan lebih mengena.

Pada akhirnya, marketing itu justru lebih banyak terjadi bukan pada persoalan transaksi finansial, namun pada wilayah pinggiran yang non-transaksional: iklan adlib (penyebutan), foto sepintas, menjawab komentar negatif, memasang map dan business addres di Google, mengelola akun, dst.

Penentuan persona, berpijak dari motivasi membuat produk ini. Bukan karena sedang ngehit. Kalau ramai politik lantas bikin kafe dengan nuansa politik, masanya lewatpum akan mengecewakan. Pemakaian “persona” yang terlalu sering, termasuk keseringan “keyword stuffing”, atau “penasaran? klik di sini..” justru memindahkan perhatian orang, bukan pada content.

Terlalu mempercantik kulit, bukan pada isi dan gerak, akan membuat orang membandingkan kulit atau penampilan kamu dengan kepintaran dan gerakanmu. Bumerang bagi diri-sendiri.

Siapa para pekerja pembuat jins Levi’s? Kopi Rembang berasal dari mana? Mengapa Elon Musk yang suka teknologi roket justru bikin Twitter? Orang tidak terlalu peduli pada pertanyaan tersebut, karena contoh produk yang saya sebut tadi, produknya sudah bagus, punya konsumen jelas.

kafe-sandoz-rembang
Menentukan identitas dan persona jangan sampai membatasi siapa yang datang. Kafe Sandoz Rembang. (Photo: Sandy, Kafe Sandoz)

Konsumen Bukanlah Raja

Pengunjung yang diperlakukan sebagai “pembeli yang dilayani”, sebenarnya justru diperlakukan sebagai orang asing.

Sejak kecil saya sering membaca kalimat, “Perlakukan pembeli sebagai raja”. Sayangnya, saya menolak itu untuk bisnis kafe. Yang perlu dilakukan adalah membuat kafe seolah sebagai rumah-kedua bagi pembeli. Kalau kafe tidak menyediakan suasana senyaman rumah sendiri, pengunjung akan berpikir 2 kali untuk kembali.

Biarkan mereka bebas melakukan apa saja. Jadikan kafe sebagai rumah-kedua bagi mereka yang datang.

Di hotel dan pijat plus (plus spa, plus karaoke), orang diperlakukan sebagai raja, tetapi dengan banyak batasan. Raja berdasarkan rate. Terlalu banyak syarat dan aturan. Karaoke dengan pemandu karaoke disukai, karena pengunjung boleh bebas, sekalipun layanan masih berdasarkan tarif yang lumayan mahal, tetapi membuat pengunjung datang seperti memasuki rumah mereka sendiri. Jika ada kesempatan, mereka mau datang lagi, kalau perlu patungan dengan kawan-kawan agar bisa gembira bersama. Anak kecil mau menggambar dan bermain di wahana bermain (sekalipun mereka sudah punya itu semua di rumah) karena mereka menikmati sesuatu yang hilang dari rumahnya: kawan baru, pemandangan baru, dan permainan baru.

Pastikan ada kebutuhan pelengkap ngopi, agar pengunjung tidak kerepotan. Keuntungan kurang optimal karena keterbatasan kapasitas.

Saya termasuk korban intervensi pelanggan-lain dan akhirnya harus pindah tempat tongkrongan, karena merasa tidak lagi nyaman. Dulu ada tempat nyaman di bawah pohon asem, dengan suasana natural, tetapi berdatangan pelanggan lain yang perbincangannya tentang uang, perempuan, dan politik kesenian melulu. Akhirnya menjadi tidak nyaman lagi.

Saya bergeser ke kafe Sandoz, yang terletak bukan di jalan-utama, tempatnya lebih luas dan saya bisa mengucilkan-diri di tengah keramaian.

Besar dan luas itu penting. Tempat kecil berarti jika seluruh tempat dimanfaatkan, hasilnya tetap kecil. Besar dan luas itu harus diimbangi dengan pemanfaatan “space” secara optimal.

Setelah berkeliling lama dan ngopi di mana-mana, saya menemukan kafe Sandoz yang terbilang berpenampilan biasa tetapi pengunjung selalu berdatangan, punya pelanggan tetap.

Bangunan kafe Sandoz terdiri dari 3 ruko yang disatukan. Bagian paling kiri, berisi “manuk-manukan”, yang berkaitan dengan bird seed, food, and treats. Di ruko ini, Sandoz menyediakan sangkar burung, makanan, termasuk jual merk lokal bikinan Sandoz Group.

Di eternit, bergelantungan sangkar burung, suara beberapa spesies love bird. Pengunjung bisa beli rokok (ini kebutuhan komplementer bagi para peminum kopi), dan menerima sistem transaksi pembayaran dengan kartu gesek BRI tanpa batasan minimal. Ikon toko burung menjadi penanda mudah untuk mencari kafe ini. Saya sempat melihat beberapa piala jadul dari kejuaraan burung berkicau lokal dan regional, mengingat penjualnya sudah lama menekuni dunia burung. Mereka yang datang untuk urusan “manuk” (perburungan) ada yang peternak, penangkar, pengembang makanan, dan beli burung.

Bagian kanan, kafe Sandoz, memuat 115 pengunjung. Perhitungan ini didapatkan dari 23 kusi panjang (masing-masing memat 3 orang), 26 kursi busa mirip bis malam, dan lesehan dengan kapasitas 20 orang. Mobil dan motor bisa parkir di depan ruko. Karena kapasitas besar, tidak ada adegan “pengusiran halus”. Orang bisa duduk sendirian, berkelompok, bebas mau pilih tempat.

Banyak pengunjung kafe Sandoz yang sengaja rebahan atau tidur siang, video call, mengisi-ulang baterai Android, ada juga yang sengaja datang untuk bermain MX dan PUKG dengan teriakan khas mereka ketika bermain bersama. Atau sound overdrive digeser keluar untuk bermain gitar dan organ, untuk memainkan lagu-lagu Beatles, slow rock, sesukanya. Yang penting fun dan pengunjung lain tetap enjoy melakukan aktivitasnya masing-masing.

Banyak wajah yang sering saya kenal, tanpa harus saling-sapa, namun semua orang punya lingkaran-pertemanan masing-masing.

Fasilitas Fisik

Apakah secara fisik sudah memenuhi kebutuhan dasar pengunjung kafe?

Mereka butuh merokok di tempat terbuka, isi-ulang baterai (dan stop kontak bersama), televisi besar untuk memutar playlist YouTube atau acara televisi unggulan. Lebih disukai kalau ada menu nasi. WiFi untuk koneksi internet gratis, juga harus ada. Orang lebih suka kalau di kafe ada free WiFi. Harga internetan sebulan pakai hape (yang bisa dipakai untuk portable hotspot dan terhubung laptop) itu cuma 70 ribu per bulan, unlimited, tanpa batasan jam. Tetapi fasilitas free WiFi bukan soal pelanggan nggak punya kuota data internet, tetapi pelanggan suka free WiFi sebagai tambahan. Pelanggan suka dengan koneksi WiFi langsung daripada login melalui browser, walaupun hanya selisih beberapa detik di pengaturan. Pastikan selalu ganti password dan amankan koneksi.

Yang paling menyenangkan, kalau kafe punya menu, dengan harga flat dan sangat murah. Ini salah satu syarat mendapatkan pelanggan atau pengunjung-tetap. Mengeluarkan uang 10 ribu dapat beberapa item, lebih disukai daripada 10 ribu hanya untuk 1 item, walaupun berkualitas. Mereka mau datang lebih dari sekali dalam 1 hari, kalau harga flat dan murah. Mereka mau nraktir kawannya, kalau harga lebih murah.

Menu di Sandoz ada yang bikin sendiri, ada juga supply dari luar. Bagian terpentingya, orang yang datang bukan hanya pembeli. Kalau kamu stockist es batu, nasi bungkus, atau jajanan, bisa bekerja sama. Yang terpenting, di sini sedia makanan. Ada whiteboard berisi menu hari ini dan harganya, dan password WiFi hari ini.

Agar yang Datang Bukan Hanya Konsumen

Kesalahan mendasar di bisnis kafe, adalah memproduksi segalanya di tempat. Beberapa brand berhasil dengan cara ini, namun kebanyakan tidak. Angkringan berhasil karena supply berasal dari beberapa pedagang lain. Restoran berhasil karena ia punya jalur supply bahan mentah langsung dari produsen.

Jika bisa menjual yang lain, kenapa harus bikin sendiri?

Saya pernah mendapatkan kasus, di mana seorang kawan hendak membuka usaha printer DTG (Direct to Garment). Saya tertarik, selain karena suka dunia desain, saya melihat alasan dia menjalankan bisnis ini: dia ingin membantu orang-orang “berbicara” melalui kaos. Kaos adalah demonstrasi tanpa jalanan, pamflet dan brand yang berjalan, cara menyatakan diri, dll. Dia penulis yang mengerti filsafat dan sastra. Hebatnya, ia kerjakan urusan desain, cetak, dan distribusi, hanya dengan bantuan isterinya.

Printer DTG itu jenis printer canggih, bisa mencetak foto full color CMYK ukuran A3 ke atas kaos. Alat berkualitas, skill desain dia pintar, konsumen banyak. Ia hendak promosi melalui website dan halaman Facebook. Saya sampai pada diskusi, “Bagaimana caranya agar yang datang bukan hanya [calon] pembeli?”. Kalau hanya [calon] pembeli yang datang, berarti sama seperti barbershop, tidak seperti salon Ibu Nani.

Akhirnya, terjadi momen Eureka!

Bisnis kaos itu butuh desain. Agar orang tertarik mencetak, apa salahnya ia bikin “show case” untuk pamer desain? Berarti, desainer bisa datang, dengan deal: jika desainnya dipesan orang sampai sekian biji, ia dapat gratisan 1 kaos. Deal. Bagaimana kalau bukan desainer dan bukan [calon] pembeli? Retailer. Mereka bisa meneruskan order, bisa ikutan mempromosikan bisnis ini, dan dapat komisi. Akhirnya, yang buka website itu bukan hanya [calon] pembeli. Desainer, retailer, dan orang yang pernah pesan di situ, bisa ikut berperan. “Lihat, saya ada di sini” adalah salah satu mantera keberhasilan suatu bisnis.

Kafe juga bisa menjalankan strategi sama. Jangan hanya menunggu pembeli. Ada supplier bahan mentah, ada jajanan pelengkap minum kopi, bahkan “merk lain” bisa dijajakan di situ.

Rahasiakan jalur supply, cara produksi, dan strategi bisnismu. Namun jangan hanya datangkan [calon] pembeli. Jadilah seperti Ibu Nani yang ikut kontes fashion show dan mau menjual produk lain.

Intervensi Visual Branding yang Mencekam

Branding itu bukan soal logo dan desain interior kafe. Branding mencakup semua hal: cara melayani, strategi pemasaran, standar harga, kualitas masakan, semua yang berkaitan dengan konsep dan bagaimana kamu menerapkan itulah yang disebut branding.

Sedangkan logo dan desain interior itu hanya bagian dari “visual branding”. Membuat logo dan tagline, termasuk desain interior, hanya agenda kecil dari branding (secara keseluruhan).

Saya sering melihat visual branding kafe yang hampir sama: kursi kayu, handwritten typography, penyaji berseragam, sajian menu yang hampir sama, “follow IG dan Facebook kami untuk promo”, rak buku, tulisan di dinding yang berkaitan dengan betapa dahsyatnya budaya ngopi, dan “peraturan” selama ngopi.

Ini semua bagian dari identitas suatu “merk”.

Kalau sudah begini, sulit membedakan ini kafe di Jakarta atau di Semarang. Kalau sedang melakukan “location scouting” sebelum posting di Instagram, ketemunya foto, kalimat, dan cara yang “gitu-gitu aja”. Casing beda, dengan bentuk dan cara hampir sama. Kafe yang sibuk dengan visual branding namun tidak membenahi kualitas menu dan layanan, lebih berpeluang tidak bertahan lama.

Secara tipografi, rujukan mereka dalam mendesain adalah arsitektur barat dan tipografi latin yang bisa diintip dari website desain. Tidak jarang mereproduksi poster dari internet, dengan sedikit modifikasi, kemudian dibingkai sebagai tampilan.

Pemandangan ini melelahkan. Kesamaan visual dan identitas visual yang tidak melokal.

Mengherankan, jika kawasan bersejarah seperti Kota Lama Semarang, juga mengalami “intervensi” serupa. Beberapa kafe memilih menyajikan menu Eropa, kawasan menjadi “instagrammable” demi ngehit, tetapi lokalitas (dan kesejarahan) terhapus. Identitas yang mestinya direspon, menjadi digantikan.

Semakin tinggi frekuensi visual branding yang ditemukan pengunjung, semakin mereka diperlakukan sebagai orang asing.

Hentikan visual branding yang terlalu gencar.

Perlakukan pengunjung seperti menempati rumah-kedua mereka.

Kafe yang berhasil, justru memperlakukan dirinya sebagai “rumah saya”, sebagai ruang-publik. Mereka tidak diperlakukan sebagai orang asing.

Apa yang dirasakan pengunjung, terutama yang sudah biasa melihat foto kafe dengan visual branding yang hampir sama itu di medsos?

Apalagi dengan kalimat standar yang sudah ada di buku manual. Lihatlah bagaimana orang bisa bosan dengan cara kasir swalayan. Atau customer service di lobi hotel. Pengunjung diistimewakan sebagai “tamu” dengan layanan berbasis harga. Singkatnya, pengunjung diintervensi dengan “merk”, ketika berada di dalamnya.

Penutup

Orang ngopi bukan untuk ngopi saja. Mereka ingin bermain-bersama, melepaskan ketegangan sesaat (dari rumah dan pekerjaan), singgah sebentar untuk “tidak melakukan apa-apa”. Pikiran fungsional berkata, “Di rumah ada kopi dan makanan”, tetapi pikiran pengunjung kafe tidak demikian. Mereka butuh teman, butuh lobi, butuh temuan tak-sengaja yang datang begitu saja tanpa rencana.

BTS. Tulisan ini saya buat di sela-sela ngopi di Kafe Sandoz Rembang, di antara orang-orang yang sering saya temui dan saya tidak tahu siapa nama dan latar-belakang mereka, semoga mereka membacanya. : )


Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.